desa pinter

menambah pinter desa pinter

  • Kategori

  • Arsip

Seluler Masuk Desa (10)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Menambah Pinter Desa Pinter

For mobile broadband to be a mass-market service worldwide and
powerful engine of economic growth, the mobile industry needs
both a stable regulatory climate and access to the right spectrum
on the right terms, Rob Conway, CEO and Member of the Board of the GSMA.

DSC_8024

Telepon sampai juga ke desa-desa di pelosok negeri ini. Kehadiran infrastruktur telekomunikasi dan informatika berpotensi mengakselerasi terjadinya perubahan sosial, ekonomi atau budaya masyarakat setempat, bilamana akses dimaksud dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya. Maksudnya akses telekomunikasi dan informatika yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan komunal, dimanfaatkan secara bersama-sama untuk kebutuhan bersama pula. Apabila akses telekomunikasi dan informatika hanya dimanfaatkan sekelompok kecil orang–misalnya elite desa–, sulit diharapkan ia mampu mendorong terjadinya serangkaian perubahan di pedesaan. Karena itulah, pasca deployment infrastruktur telekomunikasi dan informatika di desa-desa USO, diperlukan suatu pemantauan atau evaluasi terhadap pemanfaatan layanan dimaksud. Tidak tertutup kemungkinan ada semacam resistensi terhadap fasilitas telekomunikasi dan  informatika di kalangan elite desa, karena fasilitas dimaksud akan membuka isolasi desa dari dunia luar dan hal itu dianggap merugikan kepentingan elite desa. Di sisi lain, masyarakat boleh
jadi enggan memanfaatkan layanan karena tidak mengetahui
bagaimana memanfaatkan layanan yang tersedia. Oleh karenanya
edukasi kepada masyarakat mengenai bagaimana memanfaatkan
telepon atau internet dan manfaat apa yang bisa
didapatkan dengan memanfaatkan layanan ini juga diperlukan.

Karena itulah, indikator keberhasilan program USO bukan semata-
mata dari aspek ketersediaan dan keterjangkuan. Keberhasilan
program USO juga akan ditentukan apakah fasilitas yang
tersedia dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Program USO
menjadi tidak ada artinya, apabila fasilitas yang tersedia tidak
dimanfaatkan. Oleh karena itu, perlu pula dikembangkan suatu
strategi agar infrastruktur telekomunikasi dan informatika yang
ada di pedesaan bisa dimanfaatkan secara optimal. Diantara
desa-desa USO terdapat desa yang telah memiliki akses internet
(desa Pinter). Pada desa Pinter tentu saja membutuhkan treatment
yang berbeda. Mengingat belum semua masyarakat
pedesaan telah mengenal dan melek internet. Karenanya pada
desa Pinter, selain edukasi pemanfaatan telekomunikasi diperlukan
pula edukasi mengenai penggunaan internet. Edukasi
yang benar mengenai pengoperasian dan pemanfaatan internet,
akan memberikan suatu benefit bagi masyarakat pengguna
internet untuk mendukung aktivitas keseharian mereka

Suatu model pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui
ICT yang dikembangkan Microsoft Indonesia di beberapa
daerah di Jawa Timur bisa diadopsi untuk pengembangan desa
Pinter. Bekerjasama dengan Yayasan Garis Tepi, Microsoft Indonesia
mengembangkan Community Base Technology Center
(CTC) di Bojonegoro. Melalui CTC masyarakat dikenalkan
de ngan ICT, melalui pelatihan penggunaan komputer–ter masuk
pe rawatan dan pemeliharaan–, akses internet serta edukasi
mengenai manfaat internet. Dari CTC ini lahir kalangan petani

Dalam konteks perluasan pemanfaatan telematika sekaligus
meningkatkan persebaran informasi, salah satu strategi yang
dikembangkan pemerintah adalah pengembangan warung
masyarakat informasi (Warmasif). Warmasif adalah satu model
pengembangan community acces point (CAP), berupa sebuah
outlet dimana masyarakat bisa memanfaatkan outlet dimaksud
untuk komunikasi, akses internet, pemasaran melalui internet,
transaksi online dan akses perpustakaan digital. Warmasif ditempatkan
di unit bisnis PT Pos Indonesia yang berada di ibukota
provinsi, kabupaten atau kota dan dikelola oleh PT Pos Indonesia.
Hingga semester pertama tahun 2008 telah berdiri 53 Warmasif
di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian
dikembangkan Warmasif Mobile atau warmasif bergerak. Warmasif
memiliki tujuan antara lain 29
Memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam pencarian
dan penyebaran informasi.
Mengurangi kesenjangan akses masyarakat terhadap
layanan informasi.
Memberikan kemudahan bagi masyarakat dan usaha kecil
menengah (UKM) dalam pengembangan usaha bidang pertanian,
kelautan dan industri kecil serta mempercepat upaya
perdagangan komoditi unggulan melalui perdagangan elektronik
(eCommerce) atau eUKM.
Meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat melalui Perpustakaan Digital.
Memberikan layanan informasi kesehatan secara online.
Meningkatkan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam
rangka mewujudkan masyarakat informasi Indonesia..

Untuk pengembangan Warmasif ini Depkominfo menjalin kerjasama
dengan PT Pos Indonesia dan Pemerintah Daerah.
Untuk mendukung layanan dikembangkan satu portal, http://www.marmasif.
co.id. Melalui portal ini disediakan berbagai informasi mengenai
kesehatan dan usaha kecil dan menengah, serta akses
perpustakaan digital (eLibrary). Untuk layanan usaha kecil dan
menengah tersedia informasi dan promosi mengenai produk
usaha kecil menengah serta layanan belanja online. Pada perpustakaan
digital terdapat koleksi pustaka yang bisa didownload
secara gratis. Selain buku pelajaran terdapat berbagai pustaka
lain yang juga bisa didownload secara gratis. Warmasif juga
menyediakan konten video ilmu pengetahuan terapan produk
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Untuk bidang kesehatan,
terdapat berbagai informasi mengenai kesehatan,
meliputi pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, informasi
penyakit dan informasi pelayanan kesehatan.

Selain warmasif tetap, dalam upaya memperluas jangkauan
layanan pemanfaatan telematika, serta memberikan kesempatan
pemerataan pembelajaran e-literasi bagi warga yang belum terjangkau
layanan Warmasif tetap dikembangkan Warmasif bergerak.
Warmasif bergerak menggunakan satu unit mobil yang
dilengkapi dengan sejumlah perlengkapan standar warmasif
seperti genset, server, komputer, akses telepon dan internet,
printer dan sebagainya. Warmasif bergerak juga berfungsi sebagai
warung telekomunikasi dan warung internet keliling. Untuk
warung telekomunikasi tersedia dua line telepon, sedangkan
warung internet tersedia enam komputer. Warmasif bergerak
juga menyediakan layanan seperti warmasif tetap. Untuk layanan
Warmasif bergerak digunakan akses CDMA. Pada Warmasif
bergerak sasaran pemberdayaan telematika ditujukan terutamaIMG_8196

bagi kelompok pemuda, remaja dan kaum perempuan, baik di
sekolah maupun luar sekolah, terutama kelompok warga yang
tidak memiliki akses dan sumber pembelajaran sendiri.
Bilamana di lingkungan perkotaan dikembangkan Warmasif,
di pedesaan dikembangkan desa Pinter atau desa punya internet.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Postel No. 247/DIRJEN/2008
Tentang Wilayah Pelayanan Universal Telekomunikasi Beban
Kontribusi Pelayanan Universal Telekomunikasi, ditetapkan sebanyak
100 desa punya internet ( desa Pinter) pada desa yang
masuk dalam wilayah pelayanan universal telekomunikasi (desa
USO). Desa Pinter tersebar di 33 provinsi, masing-masing
provinsi akan memiliki tiga desa Pinter. Selain akses internet,
pada desa Pinter juga tersedia berbagai perangkat pendukung
yang memadai, seperti komputer, server dan akses internet. Selain
desa Pinter, secara teknis sebenarnya seluruh desa USO
telah internet ready. Teknologi yang dikembangkan untuk program
USO berbasis GPRS/EDGE, dengan demikian ia bisa dimanfaatkan
untuk akses internet berkecepatan rendah atau
sedang. Oleh karena itu di desa USO bisa dikembangkan Warmasif.
Pada dasarnya Warmasif maupun Desa Pinter memiliki tujuan
sama. Oleh karena itu mengintegrasikan desa Pinter ke
dalam Warmasif, akan makin memperluas program pemberdayaan
telematika di Indonesia.
 

Dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat pedesaan,
diperlukan konten yang lebih spesifik dan customized. Di sisi lain
perlu diperhatikan kemampuan masyarakat pedesaan dalam
memahami dan menguasai konten di maksud. Perlu kiranya disadari
bahwa pemahaman dan penguasaan masyarakat pe de –
saan terhadap satu topik yang dibahas atau diulas, berbeda
dengan masyarakat perkotaan. Konten yang dikembangkan di
Warmasif, secara substansial adalah konten yang dirancang
untuk masyarakat di perkotaan dan cenderung mencerminkan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat di perkotaan. Atau ma sya –
rakat dengan latar belakang pendidikan menengah atas serta

sosial ekonomi menengah atas. Oleh karena itu, bilamana desa
Pinter diintegrasikan dengan Warmasif diperlukan pendamping
untuk menjembatani adanya kesenjangan pemahaman atau
penguasaan materi. Model kelompok tani bisa dikembangkan
untuk menjembatani kesenjangan pemahaman dan penguasaan
materi di desa Pinter. Dalam hal ini bisa dikembangkan kelompok-
kelompok masyarakat berdasarkan kesamaan profesi. Ma –
sing-masing kelompok memiliki satu atau dua pendamping.
Pendamping inilah yang selanjutnya membimbing kelompok
melakukan pencarian informasi, membahas informasi yang
diperoleh, termasuk melakukan transaksi secara elektronik. Pendekatan
kedua yang bisa dikembangkan adalah mengembangkan
portal khusus untuk masyarakat pedesaan, dengan
konten yang disesuaikan dengan kemampuan dan pemahaman
masyarakat pedesaan.

Pada dasarnya, ada banyak pendekatan yang bisa dikembangkan
di desa Pinter. Namun dalam konteks pemberdayaan
masyarakat setempat melalui ICT, yang paling urgen adalah
sumber daya yang akan menjadi pendamping masyarakat, agar
mereka memahami, mampu mengoperasikan dan memanfaatkan
akses internet dengan baik dan benar. Pendamping
yang dimaksud disini tentu memiliki kemampuan dasar ICT, serta
memahami karakteristik masyarakat pedesaan setempat. Ada
banyak figure yang bisa dilibatkan sebagai pendamping
masyarakat pedesaan untuk memanfaatkan akses interndet de –
ngan baik dan benar. Para guru, penyuluh pertanian, bidan, juru
penerang adalah figur-figur yang memiliki kemampuan memadai
sebagai pendamping. Mereka umumnya memiliki latar belakang
memadai dan telah mengenal karakteristik masyarakat
pedesaan dengan baik. Yang diperlukan kemudian adalah membekali
mereka dengan pelatihan-pelatihan khusus mengenai ICT.
Relawan sosial dan kalangan lembaga swadaya masyarakat
juga bisa dilibatkan sebagai pendamping masyarakat.

Bila di desa Pinter terdapat akses internet sebagai media pembelajaran sekaligus media komunikasi dan interaksi dengandunia luar, lantas bagaimana dengan desa yang belum memilikiakses internet. Sebagai pemenang tender, Telkomsel rupanya telah mengantisipasi kebutuhan dimaksud. Untuk mensolusi kebutuhannformasi dan diseminasi pesan, tengah dikembangkan satu program yang diberi nama Pusat Layanan Terpadu Informasi (Pusyantif). Ia dirancang sebagai mediator untuk memenuhi kebutuhan informasi, interaksi serta diseminasi pesan. Pusyantif sekaligus akan menjadi kanal yang akan menampung seluruh
informasi yang datang dari seluruh desa USO. Seluruh kegiatan
Pusyantif berbasis pesan singkat (SMS). Penggunaan SMS
di pilih dengan mempertimbangkan aspek biaya, kemampuan
masyarakat memanfaatkan teknologi, perangkat yang tersedia
serta keamanan dalam proses menerima dan mengirim pesan
dimaksud.

Pada Pusyantif akan dikembangkan satu aplikasi yang
memungkinkan operator warung telekomunikasi menyampaikan
dan menerima informasi ke portal Pusyantif — berupa pesan
singkat–, dengan menggunakan fixed wireless telephony di
warung seluler. Informasi dimaksud meliputi potensi yang ada
di desa bersangkutan, dinamika bisnis di pedesaan, up date kebutuhan
sarana produksi pertanian, produksi pertanian, serta
hal-hal lain yang relevan, misalnya bidang pendidikan, kesehatan
dan sebagainya. Mempertimbangkan aspek keamanan
dalam proses ini, hanya operator warung seluler–atau orang
yang ditunjuk–, yang memiliki otorisasi mengirim dan menerima
pesan dari Pusyantif. Melalui Pusyantif akan dihimpun seluruh
data yang relevan di masing-masing masing desa. Data ini kemudian
diolah di Pusyantif sesuai dengan kategorinya. Data-data
inilah yang selanjutnya akan di share ke pihak terkait yang membutuhkan, termasuk kalangan bisnis yang berlangganan ke
layanan ini. Misalnya data mengenai potensi yang ada di satu
desa. Data yang ada di Pusyantif kemudian di share ke pihak
terkait, melalui mekanisme ini diharapkan potensi yang ada di desa itu bisa dimanfaatkan secara optimal.
aceh

Di sisi lain, Pusyantif juga akan memasok data ke desa USO
sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, data mengenai informasi
cuaca, harga bibit padi, harga pupuk dan sebagainya. Diseminasi
informasi akan disampaikan ke fixed wireless telephony
yang ada di desa USO. Sesuai dengan mekanisme yang dikembangkan,
tentu saja hanya pihak yang memiliki otorisasi untuk
menerima pesan yang akan membuka pesan tersebut dan
meneruskan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan
pendekatan ini distorsi pesan bisa dieliminir dan pesan yang
dikirim atau diterima bisa dipertanggungjawabkan. Model di se –
minasi informasi yang dikembangkan Pusyantif akan memberikan
banyak manfaat bagi banyak pihak. Melalui pendekatan
ini, potensi suatu desa yang belum diketahui publik—termasuk
kalangan bisnis, bisa diketahui. Di sisi lain, kebutuhan mendesak
desa bersangkutan bisa diketahui sejak dini, sehingga bisa
cepat pula dicarikan solusinya.

Sepintas, Pusyantif merupakan solusi komunikasi sederhana
untuk pedesaan. Namun apabila layanan ini bisa dimanfaatkan
optimal, Pusyantif akan mentrigger hadirnya pusat data nasional
yang akurat dan up date. Data mengenai panen padi, misalnya.
Data dari sekitar 24 ribu desa yang masuk ke Pusyantif bisa
memberikan gambaran riil, berapa produksi gabah kering giling
saat musim panen. Data dimaksud juga bisa memberikan
semacam panduan pihak terkait seperti Departemen Pertanian,
Dinas Pertanian atau Badan Urusan Logistik dalam melakukan
action. Apakah Bulog harus melakukan pembelian gabah petani,
agar harga jual gabah stabil, atau membiarkan petani menjual
gabah mereka sesuai mekanisme pasar. Manajemen yang tepat
dalam pengelolaan informasi di Pusyantif, akan memberikan
banyak kontribusi bagi bangsa ini dalam merumuskan suatu
strategi dan kebijakan yang tepat dan bermanfaat. Bukan rahasia
umum lagi banyak kebijakan yang dirumuskan tanpa didukung dengan data kuantitatif yang valid, sehingga kebijakan

yang diterapkan banyak yang tidak tepat sasaran dan tidak
memberi manfaat optimal kepada sasaran.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan informasi di
pedesaan, Pusyantif akan menjadi semacam lokomotif . Melalui
lembaga ini berbagai kebutuhan informasi masyarakat pedesaan
akan dicarikan solusinya untuk bisa dipenuhi. Dengan demikian
akan terjadi semacam pelancaran arus informasi di pedesaan,
karena Pusyantif mampu menembus berbagai barrier dalam diseminasi
informasi ke pedesaan. Barrier itu timbul karena kondisi
dan situasi pedesaan, serta berbagai keterbatasan
prasarana dan sarana pelayanan publik di pedesaan. Selain sebagai
pemasok informasi di pedesaan, Pusyantif juga akan
memiliki peran penting sebagai pemasok informasi dari
pedesaan untuk didistribusikan ke pihak-pihak terkait. Dengan
demikian, kendala yang dihadapi di desa, potensi yang dimiliki
serta kebutuhan-kebutuhan yang ada di pedesaan yang selama
ini berada dibawah permukaan akan muncul kepermukaan de –
ngan sendirinya. Pusyantif pada gilirannya adalah sebu ah program
strategis. Sebagaimana Telkomsel Merah Putih, Pusyantif
adalah ide brilian anak bangsa. Sejauh yang bisa diamati belum
ada model komunikasi dan informasi pedesaan dua arah sebagaimana
dikembangkan Pusyantif. Umumnya model komunikasi
dan informasi pedesaan cenderung bersifat satu arah, hanya
melakukan diseminasi pesan sesuai kebutuhan masyarakat.
Pada Pusyantif selain dikembangkan model top down yakni
menyampaikan informasi kepada masyarakat, juga dikembangkan
model bottom up yakni menghimpun informasi yang
ada di pedesaan. Inisiatif Telkomsel mengembangkan Pusyantif
telah memberi warna baru dalam program USO. Ia sekaligus
memperkuat komitmen Telkomsel membangun negeri ini melalui
telekomunikasi. Tidak hanya menyediakan akses, dengan desain
teknologi yang dikembangkan sendiri, Telkomsel juga
menyediakan konten dan media komunikasi. Satu aspek yang
seringkali luput dari perhatian kita. Terlepas dari siapa yang memiliki inisiatif mengembangkan Pusyantif, sudah selayaknya
apabila kalangan pemerintahan mengaperasiasi insiatif ini, pa ling
tidak memberi dukungan penuh agar Pusyantif bisa berkembang
sedemikian rupa. Akan lebih baik apabila elemen-elemen
pemerintah bergabung dalam program ini, agar percepatan pembangunan di pedesaan segera bisa diwujudkan. Seperti kata
pepatah, satu batang lidi mudah dipatahkan, namun satu ikat
sapu lidi tidak bisa dipatahkan. Semakin banyak elemen
bergabung dalam program Pusyantif, akan semakin kokoh program ini dan semakin banyak manfaat yang bisa dirasakan.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (9)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Satu Akses Untuk Satu Desa

Mobile technologies are the most powerful tools we have for combating extreme poverty in the most isolated parts of the world, Jeffrey Sachs, Director of the Earth Institute

 _MG_2966

Program USO pada dasarnya adalah akselerasi pembangunan infrastruktur telekomunikasi dii pedesaan yang belum terjangkau akses telekomunikasi dan informatika. Sebagaimana program USO yang pernah dikembangkan sebelumnya, pada program USO 2008 orientas utama program adalah penyediaan akses telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan komunikasi komunal atau kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu accesability atau ketersediaan akses telekomunikasi menjadi sasaran utama pemerintah pada program ini. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan pada masing masing desa USO minimal memiliki satu akses telekomunikasi (satu desa satu akses). Selain akses telekomunikasi minimal satu akses untuk setiap desa, pemerintah melalui Surat Keputusan Dirjen Postel menetapkan tiga desa–untuk masing-masing provinsi–, sebagai desa yang memiliki fasilitas internet atau desa pinter. Dengan demikian, selain membangun akses telekomunikasi, pemenang tender juga diwajibkan menyediakan akses untuk layanan internet beserta fasilitas pendukungnya seperti komputer dan server di desa pinter.

Untuk paket yang dimenangkan Telkomsel, terdapat sekitar 70 desa yang akan mendapatkan fasilitas tambahan berupa layanan internet. Desa-desa ini sekaligus menjadi semacam pilot project untuk pe ngembang an Desa Pinter. Desa Pinter sendiri merupakan program penyediaan akses telematika di pedesaan dan merupakan kelanjutan dari program desa berdering. Program berdering ditargetkan pemerintah tuntas tahun 2009, sementara Desa Pinter tahun 2015. Bagi pemerintah tersedianya satu akses di satu desa untuk memenuhi kebutuhan komunal dengan harga terjangkau dianggap memadai27. Pertimbangannya, investasi untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi di pedesaan sangat tinggi. Alo kasi biaya yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi melalui program USO 2008 belum sepenuhnya mampu mengcover seluruh kebutuhan untuk deployment, peng operasian dan pemeliharaan layanan. Tidak mengherankan apabila pemenang tender harus menyediakan dana pendukung –yang lebih besar dari nilai kontrak– untuk program USO 2008. Sekadar ilustrasi, Telkomsel pada tahun pertama menyediakan dana pendukung sekitar Rp 1 triliun untuk biaya operasi dan pemeliharaan. Tidak menutup kemungkinkan, alokasi dana yang besar juga akan disediakan untuk mendukung pengembangan program ini pada tahun-tahun berikutnya. Atas dasar itu, pemerintah tidak ingin membenani pemenang tender dengan persyaratan yang dinilai memberatkan.

Memperhatikan teknologi yang digunakan dalam penyediaan akses telekomunikasi di desa USO ( yang kontraknya dimenangkan Telkomsel ), secara teknis masing-masing desa sebenarnya telah bisa menikmati akses internet bergerak (mobile internet). Akses telekomunikasi yang disediakan pada dasarnya telah mendukung data ready. Mengingat teknologi GSM yang dikembangkan telah mendukung layanan internet berbasis GPRS/EDGE atau internet dengan kecepatan rendah. Dalam\ tataran teknis, perangkat yang di deployment bisa dikembangkan lagi kapasitas dan kemampuannya untuk mendukung layanan internet berkecepatan sedang hingga tinggi. Pico BTS yang digunakan untuk program Telkomsel Merah Putih, pada dasarnya adalah teknologi GSM yang mampu mendukung akses data dengan kecepatan hingga 512 KB. Perangkat yang sama bahkan telah mendukung layanan GSM generasi ketiga (3G). Saat peresmian program Telkomsel Merah Putih di desa Balabalakan, dilakukan panggilan video antara Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar yang berada di Balabalakan, dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh yang berada di Jakarta. Panggilan video juga dilakukan kepala desa Balabalakan dengan kepala desa Sentosa yang berlokasi di bukit Malabar,Bandung. Teknologi yang sama juga mendukung layanan video conference antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan lima tokoh masyarakat di daerah terpencil dan pulau terluar.

Dibandingkan dengan program USO Tahun 2003 dan 2004 memang terdapat sejumlah perbedaan. Misalnya soal teknologi. Pada USO tahun 2003 dan 2004, terdapat paling tidak lima teknologi yang diimplementasikan yakni fixed line, radio point to point, portable fixed satellite, verry small aperture satelite dan code division multiple acces (CDMA). Bervariasinya teknologi yang digunakan telah menimbulkan persoalan tatkala layanan ini diimplementasikan di lapangan. Persoalan dimaksud antara lain adalah soal tarif. Sebagaimana terungkap dalam hasil auditBadan Pemeriksaan Keuangan Tahun 2005, ada perbedaan tarif antara satu desa USO dengan desa USO yang lain. Perbedaan tarif tersebut, patut diduga terjadi sebagai akibat adanya perbedaan

teknologi dalam program USO. Pada industri telekomunikasi, teknologi yang digunakan penyelenggara jaringan telekomunikasi seringkali terkait dengan lisensi yang penyelenggara jaringan yang bersangkutan. Apabila kita perhatian pemenang tender untuk pembangunan fasilitas USO tahun 2003 dan 2004, terungkap di sini bahwa Telkom selaku penyelenggara jaringan telekomunikasi memberlakukan tarif layanan sesuai dengan tarif layanan yang berlaku di Telkom. Pasifik Satelit Nusantara dan Citra Sari Makmur adalah penyelenggara jaringan satelit, oleh karena itu tarif yang diberlakukan di desa USO adalah tarif yang berlaku untuk layanan berbasis satelit. Hal sama terjadi pada layanan yang dikembangkan oleh Mandara Seluler Indonesia, tarif yang diberlakukan adalah tarif seluler.  IMG_8273

Pada tender USO 2008, pemerintah tidak melakukan pembatasan terhadap teknologi yang akan digunakan pada program ini. Dan menyatakan teknologi untuk program USO bersifat netral. Artinya, semua teknologi komunikasi pada dasarnya bisa digunakan untuk program USO. Namun demikian mempertimbang an waktu pengerjaan, pemerintah melakukan pembatasan terhadap peserta tender, yakni penyelenggara jaringan telekomunikasi atau konsorsium dimana dalam konsorsium dimaksud terdapat penyelenggara jaringan telekomunikasi. Agar kasus tarif yang berbeda-beda bahkan cenderung lebih mahal dibandingkan dengan tarif normal layanan seluler saat itu–, berulang pada USO tahun 2008, pemerintah memberlakukan tarif khusus dan berlaku secara nasional untuk desa USO. De ngan pendekatan ini diharapkan perbedaan teknologi atau pemenang tender, tidak akan mempengaruhi system atau struktur tarif yang ada di desa USO. Kebijakan mengenai tarif khusus di desa USO pada gilirannya juga memberikan satu gambaran bahwa pada program USO selain mengedepankan dimensi accesability atau ketersediaan akses telekomunikasi, juga dipertimbangkan aspek kemampuan masyarakat setempat dalam membayar biaya komunikasi atau affordability.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah teknologi GSM — teknologi yang baru pertama kali digunakan pada program USO, akan mampu mendukung tercapai sasaran yang ingin dicapai yakni accesability dan affordability layanan telekomunikasi untuk masyarakat pedesaan. Secara konseptual penyediaan akses telekomunikasi dan informatika di desa USO termasuk desa Pinter–, bertolak pada pendekatan komunal. Artinya, satu akses dimanfaatkan untuk seluruh masyarakat di desa bersangkutan. Pada program USO 2008, pemerintah juga tidak menetapkan model atau konsep layanan tertentu. Belajar dari kegagalan USO 2003 dan 2004 pemerintah hanya memberikan direction kepada pemenang tender, agar layanan yang tersedia bisa mengaatasi kendala-kendala sosiologis-psikologi berkait dengan pemanfaatan layanan dimaksud, agar akses yang tersedia bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat setempat.

Apabila kita memperhatikan kebutuhan komunikasi secara umum, kebutuhan serupa juga akan dijumpai masyarakat di pedesaan. Respon masyarakat yang tinggi terhadap layanan telekomunikasi melalui program Telkomsel Merah Putih menggambarkan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil atau pulau-pulau terluar. Mengingat, Telkomsel Merah Putih dikembangkan untuk komunitas yang tinggal di remote area, seperti Rinding Allo di Sulawesi Selatan, Pulau Kisar di Maluku, Pulau Weh di Aceh. Sekalipun tinggal di lokasi-lokasi terpencil, masyarakat pada dasarnya telah mengenal layanan telekomunikasi dan telah puluhan tahun menunggu kehadiran layanan ini di tengah mereka. Sejauhmana tingkat kebutuhan masyarakat, apakah satu akses yang tersedia sudah memadai atau belum, akan diperoleh gambarannya setelah layanan tersedia. Oleh karena itu, model pelayanan yang akan dikembangkan, pada dasarnya akan ikut menentukan apakah konsep accesabi lity dan afforadability bisa berjalan dengan baik. Mengingat dari sisi teknologi tidalk dijumpai kendala teknis maupun sosial, sementara dari sisi tarif pemerintah telah menetapkan tarif dasar untuk layanan telekomunikasi di desa USO Tarif yang diberlakukan umumnya lebih murah dibandingkan tarif telekomunikasi reguler yang saat ini sangat murah. Sekadar ilustrasi biaya SMS di desa USO ditetapkan Rp 50 per SMS. Untuk model layanan, tidak ada penetapan. Apakah model layanan telekomunikasi USO akan dikembangkan mengacu pada model warung seluler atau menggunakan model lain seperti community acces point (CAP), diserahkan sepenuhnya kepada pemenang tender. Demikian pula dengan siapa yang akan mengelola layanan dimaksud, apakah akan dikelola langsung operator atau pengelolaan melalui mekanisme outsourcing, kerjasama dengan pemerintah, koperasi atau warga setempat, menjadi tanggungjawabpemenang tender. Prinsipnya, layanan yang tersedia bisa dimanfaatkan secara optimal oleh warga setempat.

Untuk program USO, Telkomsel berencana menyediakan dua fixed wireless acces di masing-masing desa. Perangkat ini telah mendukung layanan SMS. Satu satuan sambungan disiapkan untuk kebutuhan komunikasi ke luar (out going), satu sambungan lain dicadangkan untuk menerima panggilan ( in coming). FWT yang dialokasikan untuk menerima panggilan merupakan antisipasi terhadap kebutuhan komunikasi masyarakat setempat dengan keluarganya, misalnya dengan keluarganya yang tengah bekerja di luar negeri, dengan tarif murah dan terjangkau. Dalam hal ini, seseorang bisa mengirimkan SMS terlebih dahulu agar yang bersangkutan bisa dihubungi. Titik layanan USO akan melayani kebutuhan masyarakat seperti ini. Dengan pemisahan fungsi seperti ini, diharapkan kebutuhan komunikasi masyarakat setempat terpenuhi. Karena dengan membayar Rp 50, seseorang bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang ada di luar negeri. Untuk desa dengan fasilitas internet, terdapat satuan sambungan tersendiri untuk akses internet. Dimungkinkan pada desa dengan akses internet disediakan lebih dari tiga satuan sambungan telepon.

Model layanan di desa USO yang akan dikembangkan Telkomsel, mengacu pada model yang akan dikembangkan mirip dengan model layanan pada program Telkomsel Merah Putih. Pada Telkomsel Merah Putih, dengan mempertimbangan keamanan perangkat layanan ditempatkan di rumah kepala desa atau balai desa. Di titik layanan komunal ini tersedia Dua fixed wireless telephony (FWT) untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat yang tidak memiliki terminal sendiri. Bagi masyarakat yang telah memiliki ponsel sendiri, mereka bisa memanfaatkannya, karena pada Telkomsel Merah Putih tersedia kapasitas panggilan antara 8 hingga 16 panggilan, dengan daya jangkau sinyal mencapai radius 400-800 meter dari rumah kepala desa atau balai desa. Memperhatikan pola pengembangan layanan telekomunikasi Telkomsel, kapasitas dan coverage layanan umumnya disesuaikan dengan kebutuhan. Bila kapasitas 16 panggilan dinilai tidak memenuhi kebutuhan, akan ditambah. Tidak tertutup kemungkinan adanya pengembangan infrastruktur telekomunikasi untuk IMG_8283memenuhi kebutuhan riil masyarakat setempat.

Untuk desa USO, sesuai dengan kontrak, Telkomsel diwajibkan menyediakan sekurang-kurangnya satu akses untuk mendukung kebutuhan komunal. Teknologi yang diimplementasikan di desa USO pada dasarnya sama dengan teknologi yang diimplementasikan di desa-desa yang menjadi sasaran program Telkomsel Merah Putih. Pada masing-masing desa USO akan dikembangkan titik layanan berupa warung seluler, dengan melibatkan masyarakat setempat. Telkomsel sendiri telah menjalin kerja sama dengan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) untuk mendukung pengembangan koperasi di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan pada desa-desa USO, Telkomsel akan menjalin kerja sama dengan koperasi setempat untuk pengoperasian layanan warung seluler, atau membentuk koperasi untuk pengelolaan layanan dimaksud.

Sebagaimana telah diulas di muka, kapasitas panggilan yangtersedia di desa USO pada dasarnya berlebih, karena dari kapasitas 8-16 panggilan yang dimanfaatkan baru 2 . Untuk des dengan akses internet, kapasitas yang dimanfaatkan antara 4 hingga 6 satuan sambungan. Kelebihan kapasitas panggilan yang tersedia di masing-masing desa USO pada gilirannya membuka peluang bagi Telkomsel untuk memanfaatkan kapasitas yang ada untuk mendukun kebutuhan komunikasi pelanggan yang tengah berada di desa USO. Pertimbangannya, infrastruktur yang dikembangkan Telkomsel pada dasarnya adalah teknologi GSM. Dengan demikian pelanggan Telkomsel yang tengah berada di desa USO bisa memanfaatkan sinyal yang ada untuk komunikasi sebagaimana layaknya komunikasi di desa USO. Di sisi lain kapasitas yang ada bisa dimanfaatkan setiap saat, apabila terjadi peningkatan kebutuhan di desa USO. Dengan demikian dari sisi teknologi, layanan maupun kapasitas yang tersedia, apa yang dikembangkan Telkomsel telah memenuhi sasaran accesability atau affordability yang diinginkan pemerintah melalui program USO.

Dengan memperhatikan kapasitas yang tersedia, bagaimana dengan pemanfaatan bagi penduduk setempat secara mandiri? Maksudnya, untuk kebutuhan komunikasi mereka me manfaatkan ponsel yang dimiliki dan tidak memanfaatkan layanan yang ada di CAP. Sejauh ini, Permenkominfo No 07 Tahun 2008 tidak mengatur tentang kelebihan kapasitas terpasang dimaksud. Pemerintah hanya mensyaratkan penyediaan satu akses untuk satu desa. Sejauh ini, Telkomsel menyediakan dua satuan sambungan untuk masing-masing desa USO. Pada desa dengan akses internet, akses ditambah untuk mendukung kebutuhan akses internet. Dengan kata lain, sebagai pemenang tender Telkomsel telah memenuhi kewajiban minimal penyediaan akse sesuai dengan kontrak. Bagaimana dengan kelebihan kapasitas yang ada? Apakah dibiarkan saja atau dimanfaatkan secara optimal.

Bilamana kita memperhatikan konsep dasar USO accesability dan afforadability, dua syarat itu telah dipenuhi Telkomsel. Dalam hal ini pada masing-masing desa telah tersedia akses telekomunikasi untuk mendukung kebutuhan komunal minimal satu akses untuk satu desa. Selanjutnya untuk tarif, Telkomsel memberlakukan tarif sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Permenkominfo No 7 Tahun 2008. Sudah selayaknya apabila Telkomsel sebagai pengelola layanan USO juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan kelebihan akses untuk kebutuhan nonUSO. Keleluasaan ini, katakanlah menjadi semacam insentif bagi Telkomsel yang telah menyediakan akses telekomunikasi dan informatika di pedesaan. Dengan demikian ada dua model pendekatan yang bisa dikembangkan disini yakni layanan yang bersifat komunal dan personal. Untuk layanan yang bersifat komunal, komunikasi hanya bisa dilakukan di warung seluler atau warung internet, dengan menggunakan fixed wireless acces yang tersedia.. Untuk layanan komunal ini, biaya komunikasi merujuk pada tarif khusus yang diberlakukan di desa USO. Selanjutnya, untuk kebutuhan yang bersifat personal, masyarakat setempat berkomunikas menggunakan ponsel serta diberlakukan tarif umum.

Ketersediaan layanan yang bersifat komunal maupun personal di desa USO, secara tidak langsung akan menjadikan akses telekomunikasi dan informatika yang tersedia dimanfaatkan secara optimal. Dua pendekatan ini sekaligus sebagai antisipasi terbatasnya jam operasi layanan komunal. Untuk layanan komunal dimungkinkan hanya beroperasi delapan jam dalam satu hari. Keterbatasan jam operasi layanan telekomunikasi komunal tentu saja tidak menguntungkan. Karena tidak tertutup kemungkinan di luar jam operasi layanan komunal ada kebutuhan yang bersifat mendesak atau darurat. Bagaimana bila terjadi hal demikian? Dengan dimanfaatkannya kelebihan akses untuk kebutuhan personal, hal ini akan mengakomodasi kebutuhan kebutuhan mendesak atau darurat di luar jam operasi pelayanan komunal. Di sisi lain pemanfaatan kelebiha kapasitas untuk memenuhi kebutuhan personal menjadikan standar pelayanan telekomunikasi di desa USO sama dengan standar pelayanan Telkomsel secara umum. Hal ini menjadikan layanan di desa USO tidak berbeda dengan layanan di wilayah lain. Hal ini juga berarti kontinuitas layanan di desa USO akan terjaga.

Pendekatan dua model pelayanan–yakni komunal atau personal–, akan membuka kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di desa USO. Pengembangan layanan komunal berupa warung seluler atau warung internet, secara tidak langsung telah membuka satu kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Ia akan menjadi satu unit bisnis. Pengembangan layanan personal di desa USO menjadi warung internet atau warung seluler bisa dikembangkan menjadi satu unit layanan yang tidak saja memenuhi kebutuhan komunikasi komunal, namun juga menyediakan berbagai kebutuhan pendukung komunikasi di desa bersangkutan, seperti penyediaan kartu perdana atau vocer isi ulang. Kehadiran unit bisnis seperti warung seluler atau warung internet juga ikut mendukung kontinuitas pelayanan komunal.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (8)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Milestone bagi Kebangkitan Bangsa

Telkomsel Merah Putih akan dikembangkan untuk pulau-pulau terluar, daerah pelosok dan kawasan bahari guna mendukung kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sarwoto Atmosutarno, Direktur Utama Telkomsel

Instalasi Perangkat GSM Pico berbasis IP 

Penetapan Telkomsel sebagai pemenang tender USO 2008, telah memberikan satu harapan baru bahwa akselerasi penyediaan akses telekomunikasi dan informatika melalui program USO akan terwujud sesuai rencana. Setidaknya bila dikaitkan dengan reputasi, kemampuan, pengalaman, dukungan pembiayaan dan komitmen Telkomsel dalam menyediakan akses telekomunikasi hingga pelosok, termasuk kawasan bahari. Bagi Telkomsel sendiri, USO bukan suatu proyek melainkan investasi dan menjadi bagian dari pengembangan layanan dan jaringan dari penyelenggara telekomunikasi yang ditetapkan sebagai pemenang tender. Karena itu, untuk program USO 2008, Telkomsel mengalokasikan dana pendukung dalam jumlah besar. Pada tahun pertama program ini, dialokasikan dana sekitar Rp 1 triliun yang berasal dari belanja modal Telkomsel Tahun 2009, terdiri dari Rp 600 miliar untuk mendukung biaya operasi dan Rp 600 miliar untuk mendukung biaya pemeliharaan, karena nilai kontrak sekitar Rp 1,6 triliun dinilai tidak mencukupi kebutuhan.[1] Telkomsel juga berencana mengalokasikan dana untuk mendukung kegiatan operasi dan pemeliharaan selama masa kontrak, yakni lima tahun.

USO dalam batas-batas tertentu in line dengan program Telkomsel Merah Putih yang dirintis Telkomsel pada Mei 2008. Telkomsel Merah Putih sendiri adalah singkatan Telkomsel menembus daerah pedesaan (termasuk daerah wisata dan resort), industri terpencil (seperti pengeboran lepas pantai, hutan dan puncak bukit), serta kawasan bahari. Pengembangan akses seluler ke pedesaan merupakan kelanjutan dari program penyediaan layanan untuk Ibukota Kecamatan (Program IKC) Telkomsel yang dikembangkan sejak tahun 2005 dan diperkirakan tuntas pada akhir tahun 2008. Setelah seluruh di ibukota kecamatan terjangkau akses Telkomsel, layanan diperluas ke pedesaan. Program yang sama dikembangkan untuk melayani industri di daerah terpencil, misalnya perkebunan dan pengeboran minyak lepas pantai, kawasan wisata dan resot, serta pelayanan untuk kawasan Bahari dengan menyediakan akses seluler di kapal. Telkomsel Merah Putih bukan program khusus Telkomsel, karena untuk pengembangan program ini menggunakan belanja modal regular Telkomsel[2]. Program ini telah disiapkan Telkomsel sejak awal tahun 2007 dan menjadi rencana kerja perseroan untuk tahun 2008-2010. Pada program Telkomsel Merah Putih, Telkomsel berencana membangun akses pada 13 ribu titik dalam waktu sekitar empat tahun. Tahun pertama, akan dibangun 3.000 titik, berikutnya dibangun 10 ribu titik.

Sekalipun telah menenangkan tender USO, komitmen Telkomsel untuk menyediakan akses telekomunikasi hingga pelosok Tanah Air tidak akan surut. Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno mengungkapkan bahwa Telkomsel akan tetap melanjutkan program Telkomsel Merah Putih. Hanya saja sasaran atau target produk ini lebih spesifik lagi, yakni daerah pelosok, pulau-pulau terluar dan kawasan bahari. Ketersediaan akses telekomunikasi di daerah sasaran—utamanya pulau pulau terluar–, diharapkan mampu memberi kontribusi bagi tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, desa-desa yang sebelumnya menjadi sasaran program Telkomsel Merah Putih namun masuk dalam kategori wilayah pelayanan universal telekomunikasi, penyediaan akses telekomunikasi di desa bersangkutan melalui program USO 2008. Ini berarti program USO akan berjalan beriringan dengan program Telkomsel Merah Putih. Hal ini juga berarti akan semakin banyak lagi wilayah terpencil atau terisoloir yang bakal terjangkau akses telekomunikasi dan informatika. Telkomsel, melalui program Telkomsel Merah Putih, telah membangun fasilitas telekomunikasi lebih dari 600 titik yang tersebar di pedesaan, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau terluar dan ibukota kecamatan. Pembangunan ini berlangsung dalam waktu sekitar enam bulan.

IMG_8211

Untuk program USO sendiri, Telkomsel optimistis akan mampu menyelesaikan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informatika pada 24.056 desa selambat-lambatnya akhir tahun 2009 sesuai dengan kontrak. Telkomsel telah melakukan identifikasi desa-desa yang belum terjangkau akses telekomunikasi dan secara teknis telah mengenal situasi dan kondisi dari desa-desa yang akan menjadi sasaran program ini. Identifikasi dan pemahaman kondisi di lapangan, tentu saja akan memudahkan operator ini dalam deployment infrastruktur yang efektif dan efisien. Telkomsel juga telah mengembangkan desain teknologi komunikasi pedesaan yang telah diujicoba di ratusan titik. Desain teknologi dimaksud sesuai dengan situasi dan kondisi pedesaan di Indonesia, serta bisa bisa dideployment dalam waktu yang cepat dan masif. Saat mengikuti prakualifikasi, Telkomsel mengajukan desain teknologi komunikasi pedesaan yang dikembangkan sendiri untuk memenuhi kebutuhan komunikasi di remote area. Karena dirancang untuk memenuhi kebutuhan di Indonesia, desain yang dikembangkan pada dasarnya telah memperhitungkan berbagai kendala serta keterbatasan yang ada. Ini, barangkali, kelebihan Telkomsel dibandingkan dengan peserta tender lain, yang umumnya mengadopsi teknologi yang dikembangkan oleh vendor teknologi. Desain yang dikembangkan sejak awal tahun 2007 ini, hingga akhir tahun 2008 telah diimplementasikan di ratusan titik , baik di desa, ibukota kecamatan, termasuk diantaranya di tiga kapal milik PT Pelni, yakni KMP Labobar, KMP Kelud dan KMP Dempo. Di masing-masing titik, masyarakat bisa menikmati layanan seluler Telkomsel, dengan struktur tarif yang berlaku sama dengan pelanggan lain. Pengguna layanan bisa berkomunikasi, mengirim dam menerima pesan singkat, bahkan melakukan akses internet, layaknya pelanggan di kota-kota besar.

Dalam tataran deployment infrastruktur, memperhatikan pengalaman panjang Telkomsel menyediakan akses telekomunikasi di daerah perintis, diperkirakan tidak akan dijumpai hambatan berarti. Apalagi untuk deployment perangkat hanya dibutuhkan waktu sekitar dua jam saja. Telkomsel juga telah melakukan survei di lapangan dan melakukan identifikasi terhadap desa-desa yang akan menjadi sasaran program USO. Dari hasil pengkajian tim Telkomsel pada tahun 2007, dari sekitar 37 ribu desa yang belum terjangkau akses telekomunikasi, diperkirakan ada sekitar 13 ribu desa di Indonesia yang tidak terjangkau akses telekomunikasi (blank spot ). Sementara sekitar 24 ribu desa yang lain, telah terjangkau akses telekomunikasi dengan kategori sedang dan lemah. Berdasarkan hasil identifikasi desa-desa yang belum terjangkau akses telekomunikasi, tim Teknologi Telkomsel kemudian mengajukan rekomendasi solusi teknologi sebagai berikut[3]

  • Solusi teknologi pertama adalah solusi untuk desa yang tercover layanan seluler Telkomsel dengan coverage lemah. Untuk desa kategori ini akan dibangun repetear untuk memperkuat sinyal yang ada di desa bersangkutan.
  • Solusi teknologi kedua adalah solusi untuk desa yang tercover layanan seluler Telkomsel dengan coverage sedang. Ada banyak pilihan untuk mensolusi desa kategori ini, antara lain pemanfaatan antena Yagi.
  • Solusi teknologi ketiga adalah solusi untuk desa yang tidak ada coverage (blank spot). Solusi untuk desa kategori blank spot adalah remote solution system dengan memanfaatkan GSM Internet Protocol.

Bukan pekerjaan mudah membangun akses telekomunikasi secara massif pada 24.056 desa dalam waktu singkat. Memperhatikan jumlah desa yang menjadi sasaran program ini, tentu saja akan melibatkan banyak sumber daya manusia. Rupanya pengalaman panjang Telkomsel dalam pengembangan layanan telekomunikasi di Indonesia telah memberikan banyak inspirasi, bagaimana mengelola suatu system dan mekanisme kerja agar beban pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu dengan kualitas pekerjaan yang tetap terjaga. Untuk deployment infrastruktur telekomunikasi pada program USO, dikembangkan satu system manajemen integrative yang diberi nama Meidiana. Ia merupakan system manajemen berbasis pesan singkat (SMS) yang mampu memantau seluruh proses pekerjaan yang berhubungan dengan deployment infrastruktur telekomunikasi pedesaan pada semua titik. Mekanisme pelaporan melalui SMS kemudian diolah oleh system, sehingga mampu menampilkan gambaran riil progress pekerjaan. Mekanisme pelaporan ini juga mampu mendeteksi secara cepat kendala yang dihadapi di lapangan, sekaligus memberikan solusi apa yang diperlukan guna mengatasi masalah yang dihadapi.

P1030230

Pada system manajemen Meidiana, Telkomsel mengembangkan satu system identitas dengan menggunakan numerik dan alfabetis. Desa-desa yang akan menjadi sasaran program USO, misalnya, memiliki identitas berupa nomor. Hal yang sama diterapkan untuk solusi teknologi yang disiapkan. Misalnya solusi teknologi satu a (ST1A) untuk solusi teknologi pedesaan yang masuk kategori blank spot dan tidak memiliki aliran listrik. Pendekatan seperti ini akan memberi kemudahan pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi pedesaan. Identitas yang sama juga diterapkan kepada penanggung jawab program di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga petugas yang melakukan survey di lapangan dan melakukan instalasi perangkat. Sistem ini kemudian diintegrasikan dengan system logistik mitra-mitra Telkomsel yang menyediakan perangkat yang dibutuhkan, gudang Telkomsel di Jakarta serta depo yang tersebar di seluruh ibukota provinsi.

Sekadar ilustrasi, pembangunan infrastruktur telekomunikasi di desa Karang Rejo. Sebelum membangun infrastruktur, diterjunkan petugas untuk melakukan survei di lapangan. Hasil survey kemudian dilaporkan ke penanggungjawab program di Jakarta. Laporan serupa juga akan diterima dari para petugas survey lapangan yang lain. Yang dilaporkan petugas survey adalah identitas desa dan solusi teknologi yang dibutuhkan. Misalnya 1234567 (identitas desa) spasi ST2A. Berdasar laporan itulah kemudian ditetapkan siapa petugas yang akan melakukan instalasi, serta perangkat yang diperlukan. Dari pendekatan seperti akan bisa diketahui kapan barang harus dikirimkan dan diperkirakan akan sampai di sasaran. Seluruh aktivitas bisa dimonitor secara real time. Dari hasil monitoring tadi bisa diketahui apakah barang yang dibutuhkan sudah sampai, petugas telah melakukan instalasi nfrastruktur, serta apakah infrastruktur telekomunikasi bersangkutan sudah bisa dioperasikan.

Apabila barang yang dibutuhkan belum sampai ke sasaran, bisa diketahui sejak dini, sekaligus diketahui di titik mana kendala itu timbul. Bila dijumpai masalah seperti ini, akan dikirimkan pesan singkat agar pihak terkait segera mengirimkan barang yang dibutuhkan. Tim monitoring juga bisa melakukan deteksi aktivitas di lapangan. Misalnya barang sudah sampai ke desa sasaran, namun dalam kurun waktu tertentu belum di instalasi. Tim monitoring akan mengirim pesan kepada petugas. Dari komunikasi antara petugas lapangan dengan tim monitoring, akan terungkap dengan apa masalah yang dihadapi serta bagaimana mensolusi masalah dimaksud. Sistem manajemen yang dikembangkan juga mampu menampilkan data produktivitas para petugas di lapangan. Hal ini, tentu saja akan memudahkan Telkomsel dalam menetapkan berapa sumber daya yang diperlukan agar target waktu yang dibebankan pemerintah bisa dicapai. Maksudnya, apabila untuk penyelesaian 100 titik diperlukan 50 orang dalam satu hari kerja, dalam enam hari kerja 50 orang pekerja akan mampu menginstalasi 600 titik. Untuk seluruh desa USO tentu saja bisa diprediksi berapa jumlah sumber daya yang diperlukan.

Lebih dari sekadar evaluasi kinerja sumber daya yang dilibatkan, sistem manajemen yang dikembangkan juga bisa menjadi semacam talent scouting bagi Tim USO Telkomsel untuk merekrut sumber daya manusia yang akan dilibatkan dalam pemeliharaan jaringan di desa-desa USO. Petugas yang melakukan instalasi jaringan pada dasarnya disiapkan sebagai petugas untuk pemeliharaan jaringan dimaksud. Sistem yang dikembangkan sekaligus akan bisa memberikan gambaran apakah petugas instalasi jaringan memenuhi persyaratan teknis maupun non teknis untuk dikontrak sebagai petugas maintenance jaringan. Di atas kertas, Telkomsel akan mampu menyelesaikan pekerjaan menyediakan akses telekomunikasi dan informasi di 24.056 desa. Kehadiran layanan telekomunikasi dan informatika di seluruh desa akan menjadi semacam milestone bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa. Sepanjang fasilitas telekomunikasi dan informatika dimanfaatkan masyarakat secara optimal. Pertanyaanya kemudian, apakah fasilitas telekomunikasi dan informatika dimanfaatkan masyarakat pedesaan. Atau hanya dimanfaatkan kalangan terbatas sebagaimana terjadi pada USO 2003 dan 2004?


[1] Wawancara dengan Kiskenda Suriahardja, Jakarta, 7 Januari 2008. Saat wawancara Kiskenda menjabat sebagai Direktur Utama Telkomsel. Kiskenda mengakhiri jabatan pada 16 Januari 2009 digantikan Sarwoto Atmosutarno.

[2] Wawancara dengan Kiskenda Suriahardja, 2 Agustus 2008.

[3] Wawancara dengan Fajar, anggota Tim Teknologi Telkomsel Merah Putih, Jakarta, 16 Juli 2008.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (7)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Melompat ke Desa Pinter

 

 

 aceh-samsung (167) Gagalnya tender USO 2007 merupakan pukulan tersendiri bagi pemerintah. Muncul berbagai kontroversi dan spekulasi atas kegagalan tender tersebut. Di lain pihak, kegagalan tender USO 2007 menyebabkan Program Desa Berdering yang diharapkan bisa terealisasi pada September 2009, sulit diwujudkan mengingat jumlah akses yang akan dibangun serta sempitnya waktu yang tersedia. Desa Berdering sendiri merupakan program Departemen Komunikasi dan Informatika, sekaligus program yang masuk rencana pembangunan jangka menengah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dengan demikian, program Desa Berdering pada dasarnya adalah program prioritas pemerintah. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran dimaksud, diperlukan satu terobosan dari pemerintah. Sebelum dilakukan tender ulang, dilakukan pengkajian ulang terhadap konsep, rumusan dan implementasi USO. Salah satu elemen yang dikaji ulang adalah jumlah desa yang akan menjadi sasaran program USO. Memperhatikan ketersediaan akses telekomunikasi di pedesaan yang disediakan penyelenggara telekomunikasi, terjadi penyusutan jumlah desa sasaran. Bila pada program sebelumnya ditetapkan 38.471 desa, diputuskan bahwa program USO baru akan melakukan akselereasi peyediaan akses telekomunikasi dan informatika pada 31.824 desa. Selanjutnya, dari sisi ketersediaan layanan juga mengalami perubahan. Bila sebelumnya layanan wajib yang disediakan adalah telekomunikasi dasar yakni layanan telefoni dasar (memanggil dan dipanggil) serta layanan pesan singkat (SMS), pemerintah memutuskan untuk menambah layanan akses internet (internet ready) berkecepatan rendah pada desa USO. Layanan dimaksud meliputi • Kecepatan transfer data (throughput) minimal sebesar 56 Kbps yang diukur dari CPE ke perangkat Penyelenggara Jaringan Tetap Lokal KPU Telekomunikasi • Latency maksimal 750 ms yang diukur dari CPE ke Indonesia Internet Exchange (IIX) sebagai referensi pengukuran. • Packet Loss maksimal 2 % yang diukur dari CPE ke Indonesia Internet Exchange (IIX) sebagai referensi pengukuran. Di banyak negara berkembang, seperti Thailand, selain telefoni dasar juga tersedia layanan internet berkecepatan rendah. Di Thailand, kecepatan transfer minimal yang disediakan untuk akses internet di desa USO adalah 56 Kpbs baik menggunakan teknologi GSM, CDMA maupun teknologi lainnya. Akses dengan kecepatan rendah dinilai cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan di pedesaan yang masih berada dalam tahap pengenalan internet. Hasil pengkajian ulang kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika mencabut Peraturan Menkominfo No 11 Tahun 2007 tentang Penyediaan Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi (terakhir diubah dengan Peraturan Menkominfo No 38 Tahun 2007). Sebagai gantinya diterbitkan Peraturan Menkominfo No 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi. Regulasi terbaru selanjutnya menjadi dasar bagi pelaksanaan tender ulang USO 2008, sekaligus menjadi rujukan bagi konsep dan implementasi USO di lapangan. Terdapat sejumlah perubahan rumusan dan ketentuan mengenai USO. Salah satu diantaranya adalah pelaksana Kewajiban Pelayanan Universal (KPU). Pada Peraturan Menkominfo 32 Tahun 2008, pelaksana KPU adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi. Konsekuensinya, peserta tender USO 2008 dibatasi padapenyelenggara jaringan telekomunikasi saja. Pemerintah juga mempertimbangkan daftar negative investasi (DNI). Dengan demikian tender USO 2008 hanya terbuka untuk penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan kepemilikan saham asing sebanyak-banyaknya atau sama dengan 49 persen. Aturan baru mengenai peserta tender USO 2008 telah menutup peluang masuknya penyelenggara jaringan telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki asing, seperti PT Excelcomindo Pratama, PT Natrindo Telepon Seluler, atau Hutchinson CP Indonesia. Peluang yang sama dialami penyelenggara jasa telekomunikasi seperti internet service provider (ISP). Aturan baru mengenai tender USO 2008, tak urung mengundang reaksi keras dari kalangan penyelenggara jasa telekomunikasi. Penyelenggara jasa internet (Internet Service Provider/ISP) mendesak pemerintah agar diikutsertakan dalam tender. Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Sylvia Sumarlin mengklaim bahwa ISP siap untuk mengikuti tender tersebut. Hal itu dibuktikan dengan sudah dibangunnya jaringan telekomunikasi pedesaan di daerah terpencil di Sukabumi atau Aceh oleh ISP untuk internet dan layanan telepon lewat internet (VoIP) . Muncul pula tudingan bahwa tender ulang USO dirancang hanya untuk penyelenggara jaringan telekomunikasi eksisting yang besar, sehingga menutup peluang perusahaan menengah dan kecil. Pembatasan peserta tender, rupanya tidak lepas dari upaya pemerintah memenuhi target Desa Berdering pada September 2009. mengingat sempitnya waktu—pemerintah menetapkan lama pekerjaan satu tahun–, pemenang tender diharapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang memiliki pengalaman dalam deployment jaringan hingga ke pelosok-pelosok. Di sisi lain, memperhatikan jumlah akses yang akan dibangun beserta persebarannya, serta waktu kontrak selambat-lambatnya 12 bulan, memang dibutuhkan dukungan teknologi, sumber daya dan pembiayaan yang memadai. Pada sisi lain, pembatasan peserta tender mendapat dukungan, karena ada kekhawatiran peserta tender yang bukan penyelenggara jaringan telekomunikasi, lebih tertarik pada lisensi jaringan tetap lokal dan lisensi broadband wireless acces, ketimbang program USO. Sehingga tender dipandang sebagai sebuah proyek semata, padahal secara konseptual USO berdasarkan Permenkominfo 32 Tahun 2008 adalah sebuah investasi jangka panjang yang mendapat dukungan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur, sementara untuk biaya operasi dan pemeliharaan,IMG_8211

termasuk pengembangan pasar prakomersial dibebankan kepada pemenang tender. Pada lima tahun pertama, layanan di wilayah pelayanan universal telekomunikasi berstatus nonkomersial. Pada periode berikutnya, pemenang tender bisa meningkatkan status layanan di wilayah pelayanan universal telekomunikasi ke tahap layanan komersial sebagaimana wilayah lainnya. Di sisi yang lain, pemerintah menerapkan konsep service based contract untuk jangka waktu lima tahun dan bisa diperpanjang. Di atas kertas, untuk jangka waktu lima tahun, program USO bisa terjaga kontinuitasnya. Selanjutnya infrastruktur USO—yang notabene akan menjadi milik pemenang tender–, diposisikan sebagai bagian dari investasi dan ekspansi layanan penyelenggara telekomunikasi ke desa-desa. Karena infrastruktur USO merupakan bagian dari ekspansi layanan penyelenggara telekomunikasi, kecil kemungkinkan operator akan melepaskan infrastruktur dimaksud. Apalagi pemerintah juga menawarkan lisensi jaringan lokal tetap dan pemanfaatkan broadband wireless acces (BWA). Waktu lima tahun, bagi operator, cukup memadai untuk membangun atau membentuk pasar. Karena dana pembangunan infrastruktur berasal dari pemerintah, praktis pelaksana KPUT hanya menyediakan dana untuk operasi dan pemeliharaan. Dengan demikian, investasi yang ditanam pelaksana KPUT lebih rendah dibandingkan dengan investasi untuk kawasan nonUSO. Dari perspektif bisnis, dukungan pembiayaan pada program USO mampu menekan total cost ownership sedemikian rupa, sehingga dengan struktur tarif murah yang diberlakukan di wilayah pelayanan universal masih ada elastisitas bagi pemenang tender untuk mendapatkan revenue. Apalagi, tarif layanan telekomunikasi terus mengalami penurunan, sehingga tidak tertutup kemungkinan tarif yang diberlakukan di wilayah pelayanan universal telekomunikasi mendekati tarif yang diberlakukan pemenang tender pada layanan komersial. Hal ini, menjadikan kontinuitas pelayanan di wilayah pelayanan universal telekomunikasi akan terjaga kesinambungannya. Apalagi jika pemenang tender adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi yang telah memiliki customer based dalam jumlah besar, serta menggunakan teknologi yang populis dan user friendly di tengah masyarakat. Hal ini, tentu saja, akan memberi nilai tambah yang lain. Perubahan lain menyangkut konsep USO adalah akses yang disediakan. Bila pada regulasi sebelumnya akses yang wajib disediakan adalah layanan telefoni dasar, yakni telepon dan pesan singkat. Pada USO baru, layanan ditambah dengan akses internet (internet ready). Tahap awal diantara 31.824 desa tersebut terdapat 100 desa–masing-masing provinsi tiga desa–, yang memiliki akses internet. Oleh karena itu, selain menyediakan akses internet di Desa Pinter yang ditetapkan, pemenang tender juga diwajibkan menyediakan perangkat pendukung, seperti: • komputer • printer dan pheripheral • modem internet • koneksi ke Internet Service Provider (ISP) Untuk mendukung ketersediaan akses internet di wilayah pelayanan universal telekomunikasi, pemerintah menawarkan linsensi penggunaan spektrum frekuensi radio 2.3 Ghz dengan wilayah cakupan sampai dengan wilayah kecamatan pada wilayah pelayanan universal telekomunikasi yang dimenangkan. Bahkan pemerintah juga memberi kelonggaran bagi pengembangan layanan berbasis frekuensi radio 2.3 Ghz hingga wilayah kecamatan secara otomatis, setelah pemenang tender menyediakan layanan broadband wireless acces di desa yang menjadi sasaran program USO. Memperhatikan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah berkait dengan tender ulang USO, tergambar disini bahwa pemerintah berharap agar pemenang tender USO mampu merealisasikan program Desa Berdering pada September 2009. Mengantisipasi mundurnya penyediaan akses di seluruh desa yang belum terjangkau akses telekomunikasi, pemerintah melakukan satu lompatan dengan mengembangkan program Desa Pinter lebih awal. Desa Pinter merupakan lanjutan dari program Desa Berdering. Program Desa Pinter diharapkan terwujud pada tahun 2013. Untuk mencapai sasaran Desa Berdering pada September 2009, memang akan bergantung pada bagaimana kinerja pemenang tender USO. Pada 14 Oktober 2008, pemerintah membuka tender ulang USO, untuk tujuh paket pekerjaan. Dibandingkan tender sebelumnya, peserta tender mengalami penyusutan. Tender pada mulanya diikuti 23 perusahaan, namun dalam perkembangannya kemudian tinggal sebelas perusahaan yang maju dalam tahap prakualifikasi. Dari sebelas perusahaan ini, tercatat hanya enam perusahaan yang dinilai memenuhi persyaratan administrasi dan teknologi, yakni PT Telkom, PT Telkomsel, Indosat, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, PT Citra Sari Makmur untuk maju dalam tahapan berikutnya. Dari seleksi akhir pada masing-masing paket, pada 8 Januari 2009, pemerintah menetapkan Telkomsel sebagai pemenang tender untuk Paket 2 dan 7. Sekitar sepekan kemudian, Telkomsel kembali ditetapkan sebagai pemenang tender untuk Paket 1, Paket 3 dan Paket 6. Tidak ada sanggahan berkenaan dengan penetapan Telkomsel sebagai pemenang tender USO 2008. Pada 15 Januari 2007 antara Kepala Balai Informasi dan Telekomunikasi Pedesaan, Direktorat Jenderal Pos Dan Telekomunikasi, Departemen Komunikasi dan Informatika dengan PT Telkomsel selaku pemenang tender untuk Paket 2 dan Paket 7. Dilanjutkan dengan penandatangan kontrak yang sama, pada 4 Februari 2009 untuk Paket 1, Paket 3 dan Paket 6. Paket 2 meliputi pedesaan di tujuh provinsi di Sumatera Bagian Tengah dan Bagian Selatan, yang terdiri dari Jambi (751 desa), Riau (701 desa), Kepulauan Riau (90 desa), Bangka Belitung ( 141 desa), Bengkulu ( 969 desa), Sumatera Selatan ( 1.752 desa) dan Lampung ( 793 desa). Sementara paket 7 meliputi pedesaan di lima provinsi di Pulau Jawa. Terdiri dari Banten ( 530 desa), Jawa Barat ( 1.038 desa), Jawa Tengah ( 1.551 desa), DIY ( 19 desa) dan Jawa Timur ( 1.436 desa). Untuk Paket 1 meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ( 3.611 desa), Sumatera Utara (2.809 desa) dan Sumatera Barat (1.695 desa ). Paket 3 meliputi provinsi Kalimantan Barat ( 854 desa), Kalimantan Tengah ( 1. 131 desa) dan Kalimantan Selatan ( 914 desa) . Paket 6 meliputi Provinsi Bali ( 139 desa), Nusa Tenggara Barat ( 198 desa) dan Nusa Tenggara Timur ( 2.031 desa) Berdasarkan kontrak, akses telekomunikasi dan informatika harus diselesaikan dalam waktu satu tahun sejak kontrak ditandatangani. Melalui program USO Tahun 2008, pemerintah berencana menyediakan akses telekomunikasi dan informatika pada 31.324 desa yang dibagi dalam tujuh paket. Desa yang akan menikmati fasilitas tersebut adalah desa-desa yang belum terjangkau akses telekomunikasi dan informatika. Diantara 31.324 desa, terdapat sekitar 100 desa yang akan dilengkapi dengan fasilitas akses internet. Desa dengan fasilitas internet (Desa Pinter) tersebar di 33 provinsi, masing-masing provinsi mendapat alokasi tiga desa. Masih ada dua paket kontrak yang belum ditetapkan pemenangnya, yakni Paket 4 dan Paket 5. Paket 4 yang meliputi Sulawesi Utara ( 474 desa), Gorontalo ( 184 desa ), Sulawesi Tengah ( 744 desa ) , Sulawesi Barat ( 236 desa ) , Sulawesi Selatan ( 905 desa ) , Sulawesi Tenggara ( 929 desa ) , Maluku Utara ( 567 desa ) dan Maluku ( 710 desa) . Sedangkan paket 5 meliputi wilayah Irian Jaya Barat ( 768 desa ) dan Papua ( 2.247 desa ). Dari tujuh paket pekerjaan, Telkomsel ditetapkan sebagai pemenang untuk lima paket pekerjaan. Dua paket—yakni paket 4 dan 5–, dinyatakan tidak ada pemenangnya. Pemerintah pada April 2009 melakukan tender ulang paket 4 dan 5.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Telepon Masuk Desa (6)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Menuju Desa Berdering

 aceh Guna meningkatkan penetrasi telekomunikasi di pedesaan, pemerintah melakukan deregulasi sector telekomunikasi, antara lain membuka kompetisi penuh sektor ini yang sebelumnya cenderung bersifat monopolistik. Berdasarkan Pengumuman Menteri Perhubungan No 2 Tahun 2004, pemerintah menerapkan kebijakan baru yakni penyelenggara jaringan tetap lokal telekomunikasi diberi keleluasaan untuk melayani daerah komersial berdasarkan mekanisme pasar. Selanjutnya untuk daerah-daerah nonkomersial atau daerah yang belum terlayani menjadi tanggungjawab pemerintah. Selanjutnya Menteri Perhubungan menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No 34 Tahun 2004, tentang Kewajiban Pelayanan Universal. Pada Peraturan Perhubungan No 34 Tahun 2004, antara lain diatur hal-hal sebagai berikut[1]

a. Pembangunan Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) yang merupakan hak masyarakat terutama di daerah perintisan (daerah KPU/USO) yang tidak disentuh oleh penyelenggara telekomunikasi karena pertimbangan komersial;

    1. Dana pembangunan KPU bersumber dari kontribusi penyelenggara sebesar 0,75% dari pendapatan kotor dengan memperhatikan bad debt dan beban interkoneksi;
    2. Pemerintah akan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi untuk pelaksanaan USO.

Kontribusi penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi untuk mendukung program USO, tidak hanya diterapkan di Indonesia. Saat itu, kebijakan serupa juga diterapkan di hampir semua negara, dengan persentase yang bervariasi. Dari sisi besaran kontribusi, persentase yang dibebankan kepada penyelenggara telekomunikasi relatif kecil bila dibandingkan dengan kontribusi yang wajib dibayar penyelenggara telekomunikasi di negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand atau Vietnam. Di negara tetangga, besar kontribusi penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi berkisar antara 3 hingga 6 persen.

Terjadinya perubahan struktur kelembagaan pada Ditjen Postel pada tahun 2005 menjadikan implementasi program USO, belum bisa dilaksanakan pada tahun 2005. Ditjen Postel yang sebelumnya berada dibawah Departemen Perhubungan, menjadi bagian dari Departemen Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya pada Agustus 2005 terbit Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2005 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Komunikasi dan Informatika. Menindaklanjuti PP No 28 Tahun 2005, Menteri Komunikasi dan Informatika menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 15/PER/M.KOMINFO/9/2005 tanggal 30 September 2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Telekomunikasi/Universal Service Obligation. Berdasar pasal 13 Peraturan Menteri Kominfo No. 15/PER/M.KOMINFO/9/2005, ditetapkan besarnya kontribusi adalah 0,75 persen dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi per tahun buku efektif yang diberlakukan terhitung sejak bulan Januari 2005. Berdasarkan PP No 7 tahun 2009, mulai 1 Januari 2009 besaran kontribusi pelayanan universal dinaikkan menjadi 1,25 persen.

Dengan pembiayaan yang bersumber dari kontribusi kewajiban pelayanan universal, pemerintah selanjutnya merencanakan pembangunan fasilitas telekomunikasi sebanyak 114.776 satuan sambungan telepon pada 44.809 desa secara bertahap dalam waktu lima tahun. Pemerintah memutuskan pada program USO, penggunaan teknologi bersifat terbuka. Sementara untuk ketersediaan fasilitas telekomunikasi di desa sasaran mempertimbangan situsi dan kondisi desa bersangkutan. Dalam hal ini, ditetapkan tiga rujukan dasar, yakni[2]

  • Untuk desa nonmature akan disediakan fasilitas Information Access Point (IAP) yang bersifat satu arah dan bersifat kolektif.
  • Untuk desa semimature akan disediakan fasilitas teleponi dasar yan bersifat kolektif.
  • Untuk desa mature akan disediakan akses internet dan penetrasi oleh operator berbasis individual subscriber.

Penyediaan fasilitas telekomunikasi di desa USO akan dilakukan melalui mekanisme tender terbuka, dengan mengutamakan prinsip pengadaan, yang berorientasi pada suistainable service based contract dan prinsip pendanaan tahun jamak dan dikelompokkan berdasarkan blok wilayah[3]. Tender terbuka untuk

  • Penyelenggara JaringanTelekomunikasi.
  • Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi bekerjasama dengan perusahaan daerah/UKM.
  • Vendor/ Kontraktor (bekerjasama dengan penyelengg_MG_0809ara jaringan telekomunikasi).

Mekanisme kontribusi, diterapkan pemerintah guna mengatasi kendala kebutuhan dana dalam bagi program USO. Dari kontribusi penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi tersebut diimplementasikan program USO di seluruh desa. Tahap awal berupa penyediaan akses telekomunikasi dan informatika dasar di seluruh desa yang belum menikmati layanan telekomunikasi dan informatika. Program USO sedianya akan diimplementasikan secara bertahap mulai tahun 2006. Namun program ini belum terlaksana. Pemerintah kemudian melakukan pengkajian ulang terhadap program USO, termasuk desa sasaran dengan melibatkan instansi terkait, seperti Menteri Negara Percepatan Pembangunan Nasional, Departemen Dalam Negeri dan pemerintah daerah. Dari pengkajian ulang atas program USO selanjutnya ditetapkan 38.471 desa yang akan menjadi sasaran program ini dan dikelompokkan dalam 11 wilayah pelayanan universal telekomunikasi (WPUT) . Pemerintah mengalokasikan pagu anggaran multi years dengan nilai kontrak tahun pertama Rp 1,16 triliun.

Selanjutnya ditetapkan wilayah pelayanan universal telekomunikasi (WPUT) dan jumlah desa yang akan mendapatkan fasilitas telekomunikasi, yakni:

  • WPUT I meliputi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara dan Sumatera Barat untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 10.520 desa.
  • WPUT II meliputi Jambi, Riau, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Bangka Belitung untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 1.967 desa.
  • WPUT III meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 3.711 desa.
  • WPUT IV meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 2.157 desa.
  • WPUT V yang meliputu Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan untuk pembangunan akses Telekomunikasi dan Informatika pada 2.209 desa.
  • WPUT VI meliputi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah untuk pembangunan akses telekomunikasi pada 1.504 desa.
  • WPUT VII meliputi Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 2.424 desa.
  • WPUT VIII meliputi Papua dan Irian Jaya Barat untuk pembagunan akses telekomunikasi dan informatika pada 3.015 desa.
  • WPUT IX meliputi Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 1.309 desa.
  • WPUT X meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 2.539 desa.
  • WPUT XI meliputi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur untuk pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pada 7.116 desa.

Sekalipun dana telah tersedia USO belum juga direalisasikan. Pemerintah terkesan berhati-hati dengan program ini. Baru pada 21 September 2007, pemerintah secara resmi membuka tender USO untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informatika pada 38.471 desa yang terbagi dalam dalam 11 blok WPUT. Melalui program ini, diharapkan Desa Berdering atau desa yang memiliki fasilitas telekomunikasi bisa diwujudkan pada tahun 2009. Sebanyak 27 perusahaan yang mengikuti prakualifikasi USO 2007. Peserta adalah penyelenggara jasa dan jaringan telekomunikasi nasional. Pada seleksi tahap awal sebanyak 24 dinyatakan memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender. Selanjutnya, melalui proses evaluasi administrasi dan teknologi, ditetapkan dua peserta yang akan maju ke babak berikutnya yakni PT Asia Cellular Satelite (ACeS) dan PT Telkom.

Pada program USO 2007, PT ACeS mengajukan empat teknologi[4], yakni IP VSAT (Internet Protocol Very Small Aperture Terminal), Wireless IP, Terestrial GSM/CDMA, dan Portable Fixed Satellite (PFS). Teknologi GSM dan CDMA digunakan di desa yang sudah ada coverage jaringan GSM dan CDMA, melalui `extend` jaringan GSM dan CDMA yang ada. IP VSAT digunakan di desa yang sudah ada listriknya, Wireless IP digunakan di desa yang padat penduduknya tapi belum ada listrik dan PFS digunakan untuk desa yang tidak padat penduduknya dan tidak ada listriknya. Untuk implementasi GSM PT ACeS melakukan kerjasama dengan PT Exelcomindo Pratama, sedangkan CDMA bekerjasama dengan Bakrie Telecom. Namun dalam penilaian akhir, dari lima teknologi yang ditawarkan ACeS, tiga teknologi yakni PFS, CDMA dan GSM tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana diatur dalam Rencana Dasar Teknis Telekomunikasi, utamanya kesesuaian dengan sistem penomoron yang dialokasikan.[5] Telkom dinyatakan tidak memenuhi persyaratan administrasi, karena harga penawaran yang diajukan melebihi pagu anggaran yang disediakan untuk program USO.


[1] Pengumuman Menteri Perhubungan No 2 Tahun 2004, Jakarta, 30 Maret 2004

[2] Siaran Pers Ditjen Postel, 12 Januari 2006

[3] ibid

[4] Antara 27 Otober 2007.

[5] Siaran Pers Ditjen Postel, Depkominfo, 12 Januari 2008.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Telepon Masuk Desa (5)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Menuju Desa Berdering

The digital divide is beginning to close, Jeffrey D Sachs, Director The Earth Institute, Colombia University

km5 

 

Penyediaan akses telekomunikasi di pedesaan, telah menjadi perhatian pemerintah. Selain mendorong operator telekomunikasi menyediakan akses telekomunikasi hingga ke desa-desa, pemerintah juga mengembangkan program penyediaan akses telekomunikasi di pedesaan yang kemudian dikenal dengan nama Universal Service Obligation (USO) atau pelayanan universal telekomunikasi. Pelayanan universal telekomunikasi, berdasarkan Undang Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, difokuskan pada desa yang masuk kategori daerah terpencil, daerah belum berkembang, daerah perintisan, pedalaman, pinggiran atau daerah yang secara ekonomis kurang berkembang. Pada pasal 16 ayat 1 Undang Undang No 36 Tahun 1999 disebutkan bahwa Kewajiban Pelayanan Universal (USO) merupakan kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal tetap. Dalam hal ini penyelenggara jasa telekomunikasi lokal tetap wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal berupa penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi atau kompensasi yang lain. Pada bagian penjelasan pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa kewajiban pelayanan universal (USO) merupakan kewajiban penyedia jaringan telekomunikasi tetap agar kebutuhan masyarakat, terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat terpenuhi. Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh dan atau jasa sambungan lokal. Namun demikian undang undang tidak tegas menyebutkan sampai sejauhmana kontribusi dimaksud. Misalnya, dalam satu tahun operator wajib membangun sekian titik di wilayah pelayanan universal, dengan kapasitas sekian.

Rumusan mengenai Pelayanan Universal selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. PP ini menyatakan bahwa untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal, Menteri menetapkan:

  1. Wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal.
  2. Jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal.
  3. Jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal.
  4. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan universal.

Pemerintah menyadari bahwa membebankan ketersediaan akses telekomunikasi pedesaan sepenuhnya kepada operator penyelenggara telekomunikasi tidak mungkin dilakukan. Andaikata mungkin, membutuhkan waktu yang lama, mengingat besarnya investasi untuk program ini, juga masih banyaknya desa atau ibukota kecamatan yang belum terjangkau akses telekomunikasi. Oleh karena itu, pada tahun 2003 pemerintah merintis pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pedesaan melalui program USO dengan pembiayaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2003 pemerintah membangun akses telekomunikasi di 3.013 desa yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. Untuk program ini dialokasikan dana Rp 45 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2004, pemerintah mengalokasikan dana Rp 43,5 miliar untuk penyediaan akses telekomunikasi sebanyak 2.635 satuan sambungan telepon (SST) di 2.341 desa. Pada tahun 2005 pemerintah menghentikan program USO karena keterbatasan pagu anggaran yang ada. Saat itu alokasi dana untuk program USO hanya Rp 5 miliar. Dana yang tersedia selanjutnya dimanfaatkan untuk biaya operasional dan perawatan perangkat USO yang dibangun tahun 2003 dan 2004.

Untuk pelaksanaan program USO Tahun 2003 dan 2004, pemerintah menggandeng Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM-UGM). Dalam hal ini, LPPM-UGM melakukan survei dan menetapkan desa yang akan menjadi sasaran USO serta memberikan rekomendasi mengenai teknologi yang akan digunakan. LPPM-UGM merekomendasikan tiga teknologi untuk program USO yakni Portable Fixed Satellite (PFS), Radio Point to Point, serta Very Small Aperture Terminal (VSAT). Terdapat empat pelaksana program ini, yakni Pasifik Satelit Nusantara dengan Portable Fixed Satelite (PFS) dan IP Base, Citra Sari Makmur dengan Very Small Aperture Terminal (VSAT), Telkom dengan radio point to point serta Mandara Seluler dengan Code Division Multiple Acces (CDMA). Pasifik Satelit Nusantara membangun 4.601 titik/desa, Citra Sari Makmur 15 titik/desa, Telkom 397 titik/desa dan Mandara Seluler 314 titik/desa. Dalam pelaksanaan di lapangan, terjadi penyesuaian baik menyangkut jumlah desa maupun teknologi yang digunakan pada program USO. Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[1] terhadap program USO Tahun 2003 dan 2004 mencatat implementasi dua teknologi baru, yakni IP Base dan Code Division Multiple Acces (CDMA). Jumlah desa yang mendapatkan akses telekomunikasi bertambah 614 desa, dari rencana 2.309 desa menjadi 2.341 desa. Pergantian teknologi terjadi pada 291 desa dengan implementasi teknologi baru berupa Internet Protocol Base (IP Base) pada 9 desa dan CDMA pada 314 desa. Audit BPK juga mencatat beberapa hal berkenaan dengan implementasi USO Tahun 2003 dan 2004, antara lain pembangunan untuk 280 unit/desa dengan teknologi PFS dan 11 desa dengan teknologi radio point to point tidak dapat dinikmati atau digunakan oleh masyarakat pedesaan setempat, karena beberapa faktor antara lain:

· Tingkat kemampuan membayar yang sangat rendah.

· Tidak teranggarkan biaya subsidi untuk operasional dan pemeliharaan untuk perangkat PFS.

· Vocer isi ulang perangkat PFS sulit diperoleh atau didapatkan.

 km4Audit BPK juga mencatat tingginya a tarif komunikasi di desa USO yang menggunakan teknologi Portable Fixed Satelite. Biaya percakapan Rp 1.656,- untuk percakapan antar perangkat PFS, jauh diatas percakapan dengan menggunakan teknologi non PFS yang tarifnya berkisar Rp 195,- Untuk percakapan ke nomor PSTN rata-rata tarif percakapan per menit adalah Rp 2.457,- sementara teknologi lain Rp 1.300,- per menit. Selanjutnya untuk bisa memanfaatkan teknologi PFS masyarakat terlebih dahulu membeli vocer perdana dan isi ulang senilai Rp 750 ribu. Selain mahal, vocer isi ulang PFS tidak mudah didapatkan, sehingga banyak fasilitas berteknologi PFS tidak difungsikan lagi setelah vocer senilai Rp 750 ribu habis digunakan. Ihwal tarif satelit yang mahal, Direktur Operasional Pasifik Satelit Nusantara, Rian Alisjahbana mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh tingginya biaya interkoneksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Bilamana biaya interkoneksi bias diturunkan, tarif komunikasi menggunakan teknologi satelit bisa diturunkan.[2] Di sisi lain, PT Telkom memberlakukan minimum charge Rp 1.750.000, per bulan, serta memberlakukan tarif mahal untuk sambungan langsung jarak jauh (SLJJ)[3]. Dengan adanya kebijakan ini, tarif komunikasi dengan menggunakan Very Small Aperture Terminal (VSAT) juga mahal dibandingkan dengan tarif percakapan dengan teknologi lain. Kendala serupa juga dialami pada layanan berbasis pascabayar. Sebagaimana terjadi di Miangas, karena belum ada kantor pelayanan PT Telkom di pulau ini, pembayaran tagihan telepon dititipkan kepada awak kapal yang singgah di Pulau Miangas. Kapal yang singgah di Miangas tidak menentu dan terkadang melebihi tanggal jatuh tempo pembayaran (tanggal 20). Akibat dari keterlambatan pembayaran adalah pelanggan dikenai denda termasuk pemblokiran/pemutusan sementara.[4]

Mahalnya tarif dan kesulitan pengguna mendapatkan vocer isi ulang, pada gilirannya mempengaruhi keberlanjutan program ini di desa sasaran. Suatu studi yang dilakukan Bappenas[5] mengungkapkan bahwa pemanfaatan fasilitas USO sangat rendah, baik untuk memanggil (outgoing) maupun dipanggil (incoming). Fenomena ini tercermin dari kecenderungan penurunan jumlah desa aktif atau desa dengan aktivitas trafik komunikasi diatas 0 menit dan peningkatan jumlah desa tidak aktif atau desa dengan trafik 0 menit atau tidak ada aktivitas komunikasi pada bulan-bulan pertama pengoperasian fasilitas USO. Pada kondisi stabil prosentase desa aktif mencapai 60 persen dari keseluruhan jumlah fasilitas telekomunikasi, dan 40 persen desa dengan kondisi fasilitas yang tidak aktif atau tidak ada aktivitas telekomunikasi yang menggunakan fasilitas USO. Di Banten, dari 54 desa yang mendapatkan fasilitas USO, hanya 11 desa yang masih bisa menerima panggilan. Relevan dengan temuan ini adalah hasil pemeriksaan BPKP yang menemukan banyak perangkat PFS yang tidak bisa difungsikan. Evaluasi yang dilakuan Pasifik Satelit Nusantara terhadap penggunaan fasilitas infrastruktur telekomunikasi USO terungkap bahwa, fasilitas yang tersedia rata-rata hanya dimanfaatkan secara optimal selama enam bulan. Pada bulan pertama, trafik komunikasi tinggi dan terus mengalami penurunan hingga bulan ke enam. Salah satu penyebab terjadinya kasus itu adalah tidak tersedia dana untuk membeli vocer isi ulang.[6]

km6Tarif yang tinggoi atau kesulitan membayar tagihan dan melakukan isi ulang vocer, hanyalah satu dari sejumlah persoalan yang mengemuka dalam implementasi program USO. Terdapat banyak masalah lain, berkait dengan implementasi program ini, seperti misalnya kontinuitas program tersebut baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif. Dari sisi kuantitatif atau jumlah desa yang mendapatkan fasilitas telekomunikasi masih sangat sedikit, dibandingkan dengan desa yang belum mendapatkan. Ini berarti diperlukan satu akselerasi, agar seluruh desa bisa menikmati fasilitas telekomunikasi. Guna mengakselerasi program ini, tentu saja diperlukan dana yang sangat besar, untuk biaya pembangunan infrastruktur. Selain biaya pembangunan, diperlukan pula biaya pemeliharaan perangkat dan infrastruktur yang telah dibangun. Melalui Pengumuman Menteri Perhubungan No 2 Tahun 2004, tentang Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi, pemerintah memberlakukan kebijakan baru mengenai USO. Terbit Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 43 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pelayanan Universal, yang intinya mengatur mengenai[7]:

    1. Pembangunan Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) yang merupakan hak masyarakat terutama di daerah perintisan (daerah KPU/USO) yang tidak disentuh oleh penyelenggara telekomunikasi karena pertimbangan komersial.
    2. Dana pembangunan KPU bersumber dari kontribusi penyelenggara sebesar 0,75% dari pendapatan kotor dengan memperhatikan bad debt dan beban interkoneksi.
    3. Pemerintah akan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi untuk pelaksanaan USO.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 43 Tahun 2004 menjadi embrio implementasi konsep USO dengan sumber pendanaan berasal dari kontribusi penyelenggara telekomunikasi.

Melalui restrukturisasi telekomunikasi, pemerintah juga memberlakukan terminasi dini hak ekslusifitas, serta pengakhiran monopoli pada penyelenggaraan telekomunuikasi. Pada kebijakan ini, monopoli PT Telkom atas jaringan telekomunikasi lokal dan sambungan langsung jarak jauh dihapus, sementara monopoli PT Indosat atas layanan sambungan langsung internasional juga dihapuskan. Melalui kebijakan ini, baik Indosat maupun Telkom memiliki lisensi jaringan tetap lokal, sambungan langsung jarak jauh dan sambungan langsung internasional. Melalui mekanisme duopoli ini, pemerintah mewajibkan PT Indosat membangun 1,4 juta satuan sambungan telepon , sedangkan PT Telkom sebanyak dua juta satuan sambungan telepon. Selanjutnya penyelenggara jaringan tetap diwajibkan membangun jaringan sekurang-kurangnya 10,7 juta satuan sambungan telepon pada tahun 2008. Untuk pembangunan jaringan telepon tetap dimaksud, pemerintah menyatakan bahwa fixed wireless acces (FWA) masuk kategori jaringan tetap lokal, dengan demikian untuk memenuhi kewajiban membangun jaringan, penyelenggara telekomunikasi tetap lokal dapat menggunakan FWA. Namun demikian kebijakan duopoli telekomunikasi dinilai belum mampu meningkatkan teledensitas secara maksimal, karena hanya mampu meningkatkan teledensitas sekitar satu persen[8].

Pada periode 1999-2004, USO tidak berjalan optimal, karena faktor besarnya investasi untuk pembangunan fasilitas telekomunikasi di pedesaan yang menjadi target atau sasaran program USO. Pemerintah sendiri tidak memiliki anggaran yang memadai untuk melakukan akselerasi penyediaan fasilitas telekomunikasi di pedesaan. Sebagaimana disinggung di muka, pada periode 2003-2004, pemerintah baru sanggup menyediakan fasilitas telekomunikasi pada sekitar 6.000 desa atau sekitar 15 persen dari kebutuhan. Di sisi yang lain, penyelenggara jaringan telepon lokal yang memiliki kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi di daerah pelayanan universal juga belum memenuhi kewajibannya, karena pertimbangan investasi yang besar.


[1] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Hasil Pemeriksaan atas Pelaksanaan Anggaran Rutin Suplemen Tahun 2003 dan 2004 pada Ditjen Postel Departemen Perhubungan, Jakarta 2004.

[2] Wawancara dengan Rian Alisyahbana

[3] Tanggapan PT Citra Sari Makmur pada Dialog Publik Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang USO, Jakarta, 2006.

[4] Siaran Per Ditjen Postel, 17 Oktober 2005

[5] USO dan PSO, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005

[6] Wawancara Rian Alisyahbana, ibid

[7] Pengumuman Menteri Perhubungan No 2 Tahun 2004

[8] Telenditas telekomunikasi (gabungan antara fixed line dan seluler) pasca pemberlakuan duopoli telekomunikasi diperkirakan mencapai enam persen. Teledensitas sebelum pemberlakukan kebijakan duopoli sekitar lima persen.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (4)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Desain Lokal Untuk Solusi Global

km1 

iDesain solusi teknologi Telkomsel Merah, cukup simpel dan sederhana. Memanfaatkan satelit sebagai link trasmisi, untuk   membangun satu site perangkat yang diperlukan adalah satu unit parabola berukuran sedang, modem VSAT, PICO BTS dan Automatic Power Suplly. Sesuai dengan roadmap teknologi yang tengah dikembangkan yakni GSM IP, akses satelit yang digunakan berbasis internet protocol dengan memanfaatkan VSAT. Dari sisi biaya, satelit IP lebih murah ketimbang satelit SPCC IDR atau satelit dedicated. Satelite IP juga hemat bandwith. Pada SPCC IDR, sewa satelit dihitung flat. Maksudnya, digunakan atau tidak tetap membayar sekitar 9.000 dolar AS. Pada satelit IP, pemakaian dihitung berdasarkan trafik yang digunakan. Selain murah dari sisi biaya, satelit IP hanya membutuhkan dukungan parabola berdiameter sedang, apabila menggunakan satelit berplatform TDM atau SCPC IDR, dibutuhkan antena parabola yang diameternya antara 4,7 meter hingga 9,3 meter. Parabola yang digunakan juga bukan parabola khusus, melainkan parabola yang biasa digunakan untuk menangkap sinyal televisi (regular) atau televisi berbayar.

Perangkat yang simpel juga mempengaruhi konsumsi daya. Untuk mengoperasikan perangkat ini, hanya diperlukan listrik ratusan watt saja. Oleh karena itu, tersedia banyak pilihan apabila di satu daerah belum terjangkau aliran listrik, seperti genset dengan daya sekitar 5 KVA atau tenaga surya. Untuk energi listrik di Balabalakan, misalnya, Telkomsel Merah Putih menggunakan enam panel tenaga surya—masing-masing panel berukuran 80×120 sentimeter. Energi yang dihasilkan selain dimanfaatkan untuk pengoperasian perangkat, sebagian bisa digunakan untuk penerangan dan pompa air listrik. Di Balabalakan—berada di sebuah pulau dengan panjang sekitar 400 meter dan lebar 90 meter, perangkat yang terpasang (satu Pico BTS) mampu menjangkau hampir separuh pulau. Secara teknis, bisa dilakukan perluasan coverage dengan menambah antenna Yagi atau repetear. Satu unit Pico BTS memiliki kapasitas hingga delapan panggilan. Bisa dimanfaatkan untuk komunikasi suara, pesan singkat dan akses internet dengan kecepatan antara 80 Kpbs hingga 100 Kpbs.

Dari sisi teknologi maupun investasi, Telkomsel Merah Putih, telah memberikan satu solusi untuk komunikasi pedesaan di Indonesia yang memiliki struktur geografis yang khas, miskin infrastruktur dan link transmisi. Desain yang sama, tentu saja bisa diterapkan pada desa-desa yang menjadi sasaran program USO 2008, baik yang berlokasi di daratan, pegunungan termasuk kawasan bahari. Desain teknologi pada Telkomsel Merah Putih bisa diintegrasikan dengan sistem jaringan Telkomsel, sehingga mendukung interoperability dan interkoneksi dengan jaringan lain. Teknologi ini bekerja pada jaringan seluler, dengan demikian secara teknis semua perangkat yang mendukung GSM bisa dimanfaatkan untuk berkomunikasi dan melakukan km2akses internet. Sekaligus memberi kemudahan dalam penyediaan perangkat untuk berkomunikasi dan melakukan akses internet. Ponsel GSM baru maupun bekas, mudah diperoleh dengan harga yang semakin terjangaku. Perangkat pengakses modem, juga mudah diperoleh. Teknologi seluler memungkinkan pengguna melakukan akses internet  statik maupun mobile. Sementara perawatan dan pemeliharaan infrastruktur bisa dilakukan oleh tenaga setempat yang berpendidikan sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan, setelah mendapatkan pelatihan singkat.

Deployment Telkomsel Merah Putih juga tidak membutuhkan investasi yang besar untuk membangun satu site standar—dengan sumber energi listrik yang menyala 24 jam penuh, atau dengan menggunakan diesel KVA. Investasi untuk satu site relatif murah. Investasi yang relatif besar diperlukan apabila menggunakan sumber energi tenaga matahari. Untuk satu site, dibutuhkan sekitar enam panel tenaga surya. Satu panel surya harganya belasan juta per panel. Infrastruktur Telkomsel Merah Putih juga tidak membutuhkan lahan yang luas. Untuk outdoor hanya diperlukan space untuk parabola, panel tenaga surya, diesel dan satu box untuk menyimpan APB. Perangkat lain, seperti modem VSAT, Pico BTS dan Fixed Wireless Telephony disimpan di dalam ruangan.

Memperhatikan kapasitas satu unit Pico BTS, Telkomsel Merah Putih mampu memenuhi kebutuhan minimal akses telekomunikasi di pedesaan, serta dukungan bagi akses internet berkecepatan rendah. Kapasitas 18 panggilan cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi di pedesaan. Sekitar 25 persen dari kapasitas yang tersedia bisa dimanfaatkan untuk pengembangan wartel dan warnet, sisanya dimanfaatkan untuk warga yang memiliki telepon seluler. Bilamana kapasitas yang tersedia tidak mencukupi, atau diperlukan perluasan layanan, secara teknis hal ini bisa dilakukan. Misalnya dengan membangun site baru, atau memperluas coverage dengan menambah antenna atau repetear, termasuk penambahan Pico BTS. Bilamana diperlukan kapasitas transfer data yang lebih besar lagi, juga telah tersedia perangkat yang dibutuhkan. Untuk layanan isi ulang Telkomsel Merah Putih lahir dari suatu kebutuhan memberikan pelayanan kepada masyarakat pedesaan di Indonesia, yang belum terjangkau akses telekomunikasi karena kendala teknis, kondisi geografis, serta berbagai keterbatasan yang ada di pedesaan itu sendiri.[1] Dalam ranah industri telekomunikasi, memang banyak teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat pedesaan di Indonesia. Namun dalam praktik, teknologi yang tersedia belum tentu bisa di deployment, karena ada keterbatasan yang berhubungan dengan sumber daya listrik, link transmisi dan akses menuju desa bersangkutan. Sekadar ilustrasi, untuk membawa logistic untuk infrastruktur telekomunikasi standar ke sebuah pulau Pulau Sabakatang, yang berlokasi di Selat Makassar, tentu saja membutuhkan treatment khusus. Untuk mengangkut besi yang akan digunakan untuk menara BTS atau perangkat lain seperti radio dan parabola, paling tidak dibutuhkan kapal yang memadai. Untuk mendapatkan kapal dimaksud, tidak mudah. Karena di pulau ini yang tersedia hanya kapal-kapal nelayan tradisional, baik yang terbuat dari kayu maupun fibre glass. Bila menggunakan kapal pengangkut barang berukuran besar, persoalan muncul tatkala kapal akan sandar untuk menurunkan muatan. Dermaga di Balabalakan dirancang untuk kapal nelayan. Kapal Patroli TNI-AL kelas 28 meter, misalnya, tidak bisa sandar di dermaga. Kapal angkutan barang berukuran besar, tentu saja harus sandar di tengah laut.

Andaikata masalah logistik teratasi, persoalan berikut yang harus diselesaikan adalah kebutuhan energi untuk mengoperasikan infrastruktur tersebut. Balabalakan belum terjangkau listrik. Alternatif yang dimungkinkan adalah memanfaatkan diesel atau tenaga surya. Bila menggunakan tenaga surya, untuk memenuhi kebutuhan listrik 15 KVA hingga 26 KVA diperlukan ratusan panel tenaga surya. Satu panel berukuran sekitar 80×120 Cm. Butuh lahan khusus untuk pemasangan panel tenaga surya. Harga panel tenaga surya, boleh jadi setara dengan biaya keseluruhan untuk satu site BTS—termasuk radio dan perangkat lain. Andaikata menggunakan diesel, pertayaan berikutnya adalah dimana mendapatkan solar dalam jumlah besar secara rutin? Taruhlah dalam satu bulan membutuhkan solar antara 5.000 hingga 10 ribu liter. Untuk memenuhi kebutuhan solar saja, harus berjuang ekstra keras. Tidak kalah menariknya adalah, apakah perangkat standar dimaksud sesuai dengan kebutukm3han di sebuah desa berpenduduk sekitar 3.500 jiwa.

Telkomsel Merah Putih tidak saja menyediakan akses bagi masyarakat di desa terpencil atau terisolir, namun juga memperluas segmentasi pengguna layanan seluler di Indonesia. Layanan ini bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Apalagi struktur tarif sekarang semakin terjangkau, perangkat yang digunakan untuk berkomunikasi banyak tersedia di pasaran dengan harga yang terjangkau pula. Kontinuitas pelayanan juga akan terjaga. Di sejumlah desa yang telah menikmati layanan Telkomsel Merah Putih, untuk mendapatkan kartu perdana tidak sulit, isi ulang pulsa bisa dilakukan dimana saja. Di daerah terpencil, isi ulang pulsa bisa dilakukan dengan menggunakan layanan isi pulsa elektronik. Bagi penduduk yang tidak memiliki telepon seluler, mereka bisa memanfaatkan layanan di warung seluler.

Desain teknologi komunikasi pedesaan Telkomsel Merah Putih, belakangan menarik perhatian dunia. Sejumlah kalangan menyebut Telkomsel Merah Putih berpotensi menjadi benchmark bagi solusi telekomunikasi pedesaan global. Karena dalam tataran teknis maupun operasional, ia mampu mengatasi berbagai kendala dan keterbatasan yang ada di pedesaan. Telkomsel Merah Putih bukan sekadar solusi teknologi komunikasi pedesaan, namun juga sebuah desain operasi, pelayanan, hingga pemeliharaan. Kondisi dan situasi pedesaan di berbagai negara berkembang atau negara miskin tak berbeda jauh dengan kondisi dan situasi di pedesaan Indonesia, sehingga solusi yang sama bisa diimplementasikan di lokasi yang berbeda dengan karakteristik yang relatif sama. Salah satu negara yang berminat dengan Telkomsel Merah Putih adalah Filipina. Dalam batas-batas tertentu, situasi dan kondisi pedesaan di Filipina tidak berbeda jauh dengan pedesaan di Indonesia.


[1] Wawancara dengan Kiskenda, 2 Agustus 2008.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (3)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Desain Lokal untuk Solusi Global

The quikest way to get out of proverty right now is to have one mobile telephone, Muhammad Yunus, Chairman Grameen Foundation

 

mp1

 

Investasi yang besar sebenarnya bukan satu-satunya barrier d alam penyediaan akses telekomunikasi di pedesaan. Investasi bisa ditekan  sedemikian rupa apabila terdapat teknologi yang mampu mengatasi berbagai kendala dan keterbatasan yang ada di pedesaan, seperti power atau link transmisi, termasuk kapasitas. Teknologi yang ada umumnya memiliki kapasitas yang besar dan dirancang untuk mengcover suatu area dengan populasi yang padat. Sementara di pedesaan, populasinya relatif kecil, sehingga teknologi yang ada menjadi tidak efisien dan menjadikan biaya investasi dan operasi tidak sebanding dengan revenue yang akan didapatkan. Biaya investasi dan operasi menjadi semakin besar, karena operator harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur telekomunikasi di pedesaan. Operator harus megeluarkan biaya tambahan karena keterbatasan prasarana dasar di pedesaan. Untuk mengoperasikan infrastruktur telekomunikasi harus menggunakan diesel, tenaga surya atau tenaga angina yang notebene biayanya lebih mahal dibandingkan listrik. Untuk mendapatkan solar di pelosok, juga tidak mudah. Karena solar untuk genset masuk kategori solar untuk industri.

Bagi industri telekomunikasi sendiri, pedesaan adalah sebuah tantangan. Hampir semua vendor teknologi telekomunikasi terus mengembangkan inovasi-inovasi baru untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi masyarakat pedesaan. Di sisi lain, dikembangkan pula model-model bisnis yang baru untuk mendukung pengembangan telekomunikasi di pedesaan. Model waralaba—seperti dilakukan GrameenPhone di India dan sejumlah neara di Afrika–, sekadar sebuah solusi untuk menekan besaran investasi. Kalangan vendor teknologi sendiri juga semakin serius mengembangkan teknologi komunikasi untuk remote area dan kawasan pedesaan. Namun, berbagai teknologi yang tersedia belum tentu cocok ketika diintegrasikan pada sistem jaringan suatu operator, atau dinilai ideal dalam perspektif bisnis. Telkomsel , misalnya. Sebagai operator global system for mobile (GSM) untuk teknologi komunikasi pedesaan, tentu saja akan mengacu pada core network Telkomsel yakni GSM. Pilihan suatu teknologi juga mengacu pada roadmap teknologi. Karena Telkomsel tengah mengembangkan teknologi GSM Internet Protocol, tentu saja pilihan teknologi yang akan dikembangkan di pedesaan mengacu pada core network dan roadmap teknologi yang tengah dikembangkan Telkomsel.

Sejauh ini, belum ada teknologi yang secara spesifik bisa mensolusi kebutuhan komunikasi pedesaan Indonesia. Hal ini, rupanya telah menginisiasi Telkomsel untuk mengembangkan desain teknologi komunikasi pedesaan untuk memenuhi kebutuhan pedesaan di Indonesia. Di sisi lain, komitmen untuk menyediakan akses telekomunikasi hingga pelosok, sema IMG_8268kin mendorong Telkomsel melakukan serangkaian inovasi untuk menjawab berbagai tantangan yang berhubungan dengan telekomunikasi untuk pedesaan, yakni suatu teknologi yang tepat untuk pedesaan dan kawasan bahari di Indonesia, sesuai dengan core network dan roadmap teknologi, berbiaya murah (low cost), tepat guna dalam arti mampu menyesuaikan dengan berbagai keterbatasan yang ada di daerah sasaran, bisa dideployment dalam waktu cepat, pengoperasian dan perawatan mudah dilakukan.

Kalangan vendor teknologi telah lama melakukan pengkajian dan pengembangan teknologi komunikasi pedesaan. Solusi teknologi untuk komunikasi pedesaan yang ada umumnya menawarkan base transceiver station (BTS) mini atau BTS mikro. Konsep BTS Mini atau BTS Mikro dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan telekomunikasi pada satu wilayah dengan populasi kecil. Sekalipun dirancang untuk komunitas pedesaan, BTS Mikro atau BTS Mini umumnya membutuhkan energi listrik yang relatif besar. Kebutuhan listrik untuk BTS mini atau BTS mikro sekitar setengah atau seperempat BTS regular. Untuk BTS regular, energi listrik yang diperlukan sekitar 6000 KVA. Bukan hal yang gampang mendapatkan energi untuk pengoperasian BTS mini atau BTS mikro di pedesaan. Bila menggunakan energi pengganti seperti diesel, tentu saja membutuhkan biaya operasi yang besar. Sementara pengguna layanan ini di pedesaan diperkirakan tidak sebanding dengan kapasitas yang tersedia dan pada gilirannya biaya operasi dan perawatan yang dibutuhkan. Solusi lain adalah Pico BTS. Namun secara teknis, Pico BTS tidak lebih dari peranti untuk memperluas atau memperkuat sinyal, di area terbuka (outdoor). Peranti ini memang dikembangkan untuk memperluas atau memperkuat sinyal di kawasan terbuka terbatas, seperti hotel atau resor.

Pengkajian yang intens telah memberi banyak masukan berharga. Dari riset dan pengkajian Tim Teknologi Telkomsel, berhasil ditemukan tiga kata kunci yang harus diperhatikan untuk pengembangan desain solusi teknologi pedesaan, yakni power, transmisi dan BTS. Di sebagian besar desa belum tersentuh aliran listrik, andaikata teraliri listrik kapasitas yang terpasang terbatas dan tidak selalu menyala 24 jam. Jaringan serat optik di Indonesia juga masih terbatas, sehingga untuk memenuhi kebutuhan akses akan lebih banyak dimanfaatkan satelit. Memperhatikan situasi dan kondisi geografis di pedesaan, diperlukan desain BTS yang sesuai agar mudah di deployment. Dengan tiga kata kunci tersebut, tim teknologi Telkomsel melakukan pengkajian lebih mendalam peranti-peranti yang bisa dimanfaatkan dan memutuskan untuk mengembangkan desain solusi teknologi komunikasi pedesaan sendiri. Salah satu peranti yang dipilih adalah Pico BTS. Namun ada sejumlah keterbatasan pada perangkat ini. Untuk bisa dimanfaatkan sebagai pengganti BTS, perlu satu modifikasi. Tim Telkomsel dan Tim Teknologi ZTE kemudian melakukan modifikasi Pico BTS di Laboratorium ZTE di Beijing, agar peranti ini bisa difungsikan sebagai pengganti BTS untuk di deployment di pedesaan. Modifikasi perangkat sebesar Laptop ini meliputi power, signaling, kapasitas dan desain frekuensi. Setelah dilakukan modifikasi Pico BTS bisa difungsikan layaknya BTS Mini. Perangkat ini mendukung kebutuhan bandwith dibawah 1 E1, memiliki kapasitas panggilan mencapai delapan orang, serta memiliki coverage hingga 200 meter. Untuk mengoperasikan perangkat ini, tidak membutuhkan energi yang besar, hanya ratusan watt saja. Dengan demikian, banyak energi alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung pengoperasian perangkat ini. Berhasil melakukan modifikasi Pico BTS, melempangkan jalan Tim Telkomsel mengembangkan desain teknologi komunikasi untuk pedesaan. Mengingat Pico BTS merupakan perangkat utama dalam desain yang tengah dikembangkan. Perangkat ini juga bisa diintegrasikan dalam sistem satelit dan jaringan Telkomsel, serta mendukung teknologi berbasis internet protocol. Teknologi internet protocol juga memberi kemudahan tim dalam penyediaan perangkat pendukung. Parabola untuk link ke satelit, cukup menggunakan parabola kecil yang biasa digunakan masyarakat untuk akses layanan televisi satelit.pico IP outdoor

Untuk pengoperasian perangkat ini, Tim Teknologi Telkomsel memiliki banyak pilihan. Pico BTS yang dimodifikasi hanya membutuhkan listrik 100 watt saja. Untuk keperluan operasi digunakan tiga sumber catu daya, yakni listrik, diesel dan sumber energi alternative seperti tenaga surya. Sekalipun listrik tersedia, Tim Teknologi Telkomsel merekomendasikan automatic power back up (APB) pada semua titik. Pertimbangannya, APB mampu beroperasi selama 12 jam. Sehingga bila terjadi pemadaman listrik atau gangguan pada diesel, perangkat masih tetap bisa dioperasikan. Solar Power Supply (SPS) atau listrik tenaga surya juga direkomendasikan sebagai sumber catu daya perangkat. Untuk kebutuhan listrik perangkat, diperlukan sekitar enam panel SPS. Dari sisi investasi, pemanfaatan tenaga surya untuk telekomunikasi dengan menggunakan enam panel SPS masih bisa ditoleransi. Dari serangkaian test bled yang dilakukan, Pico BTS yang telah dimodifikasi mendukung tidak saja layanan suara namun juga layanan data. Peranti ini mendukung jaringan berteknologi GPRS/EDGE. Artinya, bisa digunakan untuk layanan berbasis GPRS/EDGE, seperti MMS, download aplikasi berbasis JAVA hingga layanan data dengan kecepatan transfer hingga 512 Kpbs. Kecepatan transfer bisa ditingkatkan lagi, sehingga bisa dimanfaatkan untuk mendukung berbagai layanan berbasis video, seperti video call.

Desain solusi teknologi komunikasi ini kemudian diberi nama Telkomsel Merah Putih. Ujicoba pertama dilakukan di desa Balabalakan dan desa Sentosa. Saat dilakukan ujicoba, Telkomsel Merah Putih tidak hanya dimanfaatkan untuk layanan telefoni dasar seperti telepon dan SMS, namun juga bisa digunakan untuk video call. Selanjutnya melalui serangkaian inovasi, Pico BTS bisa ditingkatkan kapasitasnya menjadi 16 panggilan dengan coverage yang lebih luas lagi. Telkomsel Merah Putih kemudian diujicobakan di kapal laut yang tengah berlayar.Ujicoba pertama berlangsung di KMP Labobar, yang melayani rute Jakarta-Jayapura. Sukses di KMP Labobar, dikembangkan layanan serupa di dua kapal penumpang milik PT Pelni yang lain. Layanan seluler di kapal tidak saja meningkatkan layanan kepada pelanggan, namun kehadiran seluler juga ikut meningkatkan layanan kapal dimaksud. Tak berhenti pada Pico, Tim Teknologi Telkomsel juga berhasil mengembangkan desain solusi teknologi komunikasi untuk kawasan bahari dengan menggunakan Femto Cell yang setara dengan teknologi Wimax. Ujicoba berlangsung di KMP Jatra III yang tengah berlayar dari Merak-Bakauheni. Teknologi ini memungkinkan seluruh wilayah selat Sunda tercover layanan seluler Telkomsel, cukup dengan mengkoneksikan BTS di Merak dan Bakauheni dengan dukungan Femto Cell yang ada di kapal yang tengah bergerak.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (2)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Kendala Pengembangan Telepon Pedesaan

bala 

Banyak kalangan menilai Indonesia memiliki lingkungan pedesaan yang khas, serta miskin infrastruktur pelayanan dasar. Dalam batas-batas tertentu, tantangan yang dihadapi pedesaan di Indonesia jauh lebih rumit dibandingkan dengan pedesaan di negara tetangga kita, seperti Thailand, Filipina atau negara-negara Asia Selatan dan Afrika. Bagaimanapun juga karakteristik geografis Indonesia membutuhkan treatment tersendiri. Setidaknya treatment wilayah daratan yang datar, daratan dengan pegunungan, atau wilayah kepulauan di tengah lautan, tentu saja tidak akan sama. Persoalan akan menjadi semakin kompleks, tatkala dikaitkan dengan ketersediaan infrastruktur dasar. Bagi sebagian kalangan, tentu akan merasa aneh tatkala mendengar berita mengenai Menteri Keuangan yang harus menangguhkan rencana peresmian Kantor Departemen Keuangan di Manado, Sulawesi Utara. Karena kantor bersangkutan belum dialiri listrik, dan harus menunggu enam sampai sembilan bulan untuk mendapatkan aliran listrik. Manado merupakan ibukota provinsi Sulawesi Utara. Bila di ibukota provinsi saja sulit mendapatkan listrik, bagaimana dengan kota-kota lain bahkan kawasan pedesaan yang ada di pelosok. Sulitnya mendapatkan pasokan listrik, seperti yang terjadi di Manado, menggambarkan bahwa terjadi kesenjangan antara pemenuhan kebutuhan listrik dengan pasokan listrik yang ada.

Ketidakseimbangan pasokan listrik antara Jawa dengan luar Jawa, masih terjadi saat ini. Data PLN menyebutkan dari 22 wilayah pemasaran listrik PLN, konsumsi kawasan Jawa, Madura dan Bali mencapai 80 persen. Dengan demikian, dari kapasitas produksi 25.222 MW ( tahun 2007), sekitar 20.177 MW dikonsumsi pelanggan di Jawa-Bali. Dari sisi konsumen, jumlah pelanggan PLN tahun 2007 mencapai 37,334 juta, sebanyak 34,684 juta merupakan pelanggan rumah tangga. Daya tersambung pelanggan rumah tangga pada tahun 2007 mencapai 27.777 mVa, di luar kelompok rumah tangga mencapai 28.772 mVa. Terjadi perimbangan antara konsumsi pelanggan rumah tangga dengan non rumah tangga. Namun memperhatikan jumlah pelanggan rumah tangga, konsumsi rata-rata pelanggan rumah tangga berkisar 600 Kwh per bulan. Dibandingkan dengan konsumsi rata-rata per kapita dengan negara tetangga seperti Malaysia, konsumsi listrik per kapita di Indonesia masih tergolong rendah.

Tingginya konsumsi listrik di Jawa-Bali, menjadikan elektrifikasi listrik di Jawa, Madura dan Bali mencapai 100 persen. Sementara tingkat elektrifikasi di luar daerah tersebut berkisar antara 22 sampai 60-an persen. Daya serap yang tinggi di wilayah Jawa, Madura dan Bali menjadikan kawasan lain menghadapi defisit listrik–sehingga sering terjadi pemadaman bergilir. Sekadar ilustrasi, Kalimantan Barat mengalami defisit 8 MW, Kalimantan Tengah 30 MW dan Kalimantan Selatan 20 MW.2 Di Luar Jawa-Bali, listrik masih terkonsentrasi di kota, baik ibukota provinsi, ibukota kabupaten/kota, serta sebagian ibukota kecamatan. Rasio elektrifikasi hingga pertengahan tahun 2008 mencapai 55 persen. Artinya masih ada 45 persen populasi yang belum tersentuh aliran listrik. PLN sendiri menargetkan pada tahun 2013 tercapai tingkat elektrifikasi 75 persen. Dengan memperhatikan tingkat elektrifikasi di Jawa, Madura dan Bali, 45 persen populasi yang belum tersentuh aliran listrik ada di luar Jawa dan Bali. PLN sendiri berencana menambah pasokan listrik sebanyak 10 ribu MW hingga tahun 2010. Namun demikian, pasokan listrik tambahan masih dikonsentrasikan untuk memenuhi kebutuhan di Jawa-Bali, yakni sebesar 70 persen sisanya sebanyak 30 persen untuk luar Jawa-Bali. Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa pedesaan di luar Jawa-Bali, masih harus sabar menunggu kehadiran listrik PLN.

Bagi operator telekomunikasi, listrik merupakan salah satu pendukung kegiatan operasi yang utama. Mengingat, infrastruktur telekomunikasi seperti BTS, umumnya dirancang untuk kawasan yang memiliki aliran listrik 24 jam. Sekadar ilustrasi, untuk mengoperasikan satu site BTS standar, membutuhkan listrik sekitar 6000 KVA yang haru wamenas menyala 24 jam. Untuk BTS mini membutuhkan listrik sekitar 2500 KVA hingga 4000 KVA. Deployment di daerah yang belum tercover listrik 24 jam atau belum memiliki listrik sama sekali, membutuhkan dukungan sumber energi pengganti listrik, seperti genset atau sumber energi lain, seperti energi angin atau tenaga surya. Untuk energi alternatif, diperlukan pengadaan equipment seperti genset. Untuk mengoperasikan genset, dibutuhkan solar. Biaya yang diperlukan untuk membeli solar, umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk membayar tagihan listrik PLN. Persoalan makin bertambah, apabila di site BTS bersangkutan solar sulit diperoleh. Biaya operasional yang diperlukan, tentu saja semakin besar. Ujung-ujungnya investasi juga makin membengkak.

Lis trik hanyalah satu masalah krusial yang dihadapi kalangan operator saat akan memperluas area layanan di pedesaan. Persoalan lain yang tak kalah rumit adalah lokasi dimana infrastruktur itu akan dibangun. Untuk membangun site di Rinding Allo, misalnya, diperlukan dukungan moda transportasi umum untuk membawa peralatan yang diperlukan. Dengan kondisi jalan yang ada seperti sekarang ini, tak mudah sebuah truk masuk ke desa itu. Sementara peralatan untuk infrastruktur telekomunikasi membutuhkan dukungan alat angkut berkapasitas besar. Perubahan moda transportasi, dengan sendirinya akan meningkatkan cost, juga memperpanjang waktu yang diperlukan untuk deployment infrastruktur. Persoalan tambah rumit, untuk deployment infrastruktur di wilayah kepulauan di tengah lautan, seperti Balabalakan yang berlokasi di Pulau Sabakatang. Moda transportasi apa yang harus digunakan untuk mengangkut peralatan? Tak ada moda transportasi umum yang singgah di desa ini. Transportasi yang tersedia hanya kapal nelayan biasa. Bisa saja meminta bantuan TNI-AL atau menggunakan kapal barang. Bila kemudian kapal yang lebih besar menjadi pilihan, pertanyaan berikut adalah dimana kapal itu sandar? Dermaga yang ada di Balabalakan dirancang untuk kapal ikan tradisional. Kapal yang lebih besar harus bersandar di tengah laut. Andaikata persoalan teratasi, muncul masalah baru saat peralatan sampai di dermaga. Desa ini tak memiliki jalan desa, sebagaimana pedesaan di Jawa. Tak ada truk atau mobil. Mau tidak mau, peralatan harus diangkut dengan tenaga manusia.

Makin ke Timur, persoalan yang dihadapi makin rumit. Bisa dibayangkan kesulitan apa yang dialami operator seluler saat akan membangun infrastruktur telekomunikasi di pinggiran Wamena atau pegunungan Jayawijaya. Seluruh moda transportasi dikerahkan untuk bisa membawa peralatan yang dibutuhkan ke lokasi dimana akan dibangun infrastruktur telekomunikasi. Biaya transportasi untuk pengiriman peralatan ke lokasi, boleh jadi setara dengan biaya pembangunan infrastruktur di Jawa atau kota-kota lain di Sumatera, Bali atau Lombok. Berbagai pengeluaran ekstra harus ditanggung operator. Membangun satu site di Papua, boleh jadi setara dengan biaya pembangunan dua sampai tiga site BTS di Jawa.

Katakanlah infrastruktur telah dibangun, energi untuk mengoperasikan infrastruktur telah tersedia. Pertanyaan selanjutnya adalah ada tidaknya link transmisi. Masalah link transmisi, tak kalah menarik dengan persoalan dasar seperti listrik dan infrastruktur dasar. Bagaimanapun, ketersediaan link transmisi ikut menentukan apakah infrastruktur yang dibangun bisa dimanfaatkan secara optimal atau tidak. Sebagaimana listrik, link transmisi ternyata baru mengcover sebagian kecil wilayah kita. Sebagaimana diketahui, belum semua wilayah di Indonesia telah terhubung dengan link transmisi, seperti jaringan serat optik. Jaringan serat optik yang ada baru menjangkau wilayah Timur Sumatera, Jabotatek, bagian utara Jawa, sebagian Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi. Satelit menjadi satu-satunya pilihan. Konsekuensinya bila teknologi satelit yang dipilih adalah biaya yang harus dibayar pengguna.

Keterbatasan link transmisi, telah mendorong pemerintah memprakarsai pembangunan jaringan serat optik yang akan menjadi backbone bagi jaringan telekomunikasi nasional. Program ini dikenal dengan Palapa Ring I. Hingga tahun 2006, jaringan serat optik yang dimiliki operator telekomunikasi secara nasional adalah 20.799 KM, terdiri dari Sumatera 4225 KM, Jawa 13.574 KM, NTT 480 KM, Kalimantan 1.275,2 KM, Papua 4.8 KM sementara Maluku belum memiliki jaringan serat optik sama sekali. Dari total jaringan yang ada, praktis wilayah Barat memiliki jaringan sepanjang 19.694 KM, sementara wilayah Timur 1.104.05 KM. Karena belum terjangkau jaringan serat optik, kalangan operator memanfaatkan satelit sebagai link transmisi di daerah yang belum tersentuh jaringan serat optik.

Keterbatasan jaringan serat optik menyebabkan banyak operator telekomunikasi memanfaatkan satelit untuk link transmisi. Pemanfaatan satelit, tentu saja membutuhkan biaya yang besar. Selain biaya yang besar–dibandingkan dengan link transmisi menggunakan jaringan serat optik–, link transmisi menggunakan satelit juga memiliki berbagai keterbatasan apabila dikaitkan dengan konten atau layanan telekomunikasi. Wilayah Indonesia bagian Timur, misalnya, sebagian besar wilayahnya belum bisa menikmati akses jaringan pita lebar (broadband) sebagai_DSC3103amana pelanggan di wilayah Indonesia bagian Barat.

Karena itulah pemerintah memprakarsai pembangunan jaringan serat optik nasional yang akan menjangkau 440 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Ia akan diintegrasikan dengan jaringan yang telah ada dan dibangun penyelenggara telekomunikasi, selanjutnya akan menjadi tumpuan semua penyelenggara telekomunikasi dan jasa telekomunikasi. Jaringan yang tertintegrasi juga akan meningkatkan bandwits. Program ini diperkirakan akan mampu menyediakan bandwits 100 GB dan bisa ditingkatkan lagi menjadi 160 GB. Ada berbagai manfaat apabila proyek ini bisa diwujudkan. Manfaat dimaksud antara lain[1]

· Tersedianya layanan telekomunikasi dari voice hingga broadband di seluruh kabupaten/kota

· Akan terjadi efisiensi investasi yang akan mendorong tarif layanan semakin murah dan terjangkau.

· Terjadi percepatan pembangunan sektor telekomunikasi, khususnya di Indonesia Bagian Timur, dan akan mendorong bertumbuhnya varian penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan aplikasinya.

· Keberadaan aplikasi seperti distance learning, telemedicine, egovernment dan aplikasi lainnya dapat diimplementasikan hingga kabupaten/kota

· Percepatan pengembangan potensi ekonomi di wilayah.

Palapa Ring akan membangun jaringan serat optik sepanjang 57.087 KM, terdiri dari jaringan serat optik di laut 35.280 KM dan di daratan 21.807 KM. Tahap pertama akan dibangun jaringan serat optik sepanjang 11.202 KM dengan 30 landing point di kawasan Timur Indonesia. Landing point tersebar di NTT, NTB, Sulawesi, Maluku dan Papua. Program yang melibatkan konsorsium beranggotakan lima perusahaan ini, menghabiskan dana sekitar Rp 3 triliun dan diharapkan selesai dalam tiga tahun. Akan dibangun jaringan serat optik kabel laut sepanjang 9.345 KM, dan jaringan serat optik di daratan 1.857 KM. Dengan selesainya proyek ini, kawasan Timur Indonesia akan memiliki bandwits sekitar 20 GB.

Masalah link transmisi, membawa kita pada apa teknologi yang tepat untuk deployment infrastruktur telekomunikasi di pedesaan. Realitas ini juga memberikan gambaran kepada kita bahwa perangkat yang dibutuhkan untuk deployment di kawasan perkotaan, belum tentu bisa diterapkan di pedesaan yang berada di kawasan perbukitan atau pegunungan, termasuk kawasan di kepulauan. Kontur yang berbeda, antara satu daerah dengan daerah yang lain, tentu saja membutuhkan solusi tersendiri. Sekadar ilustrasi, untuk koneksi VSAT di satu lokasi cukup membutuhkan satu parabola dengan diameter tiga meter. Namun di lokasi lain, diperlukan lebih dari satu antena parabola. Tidak tertutup kemungkinan, diperlukan equipment yang berbeda untuk melayani satu desa di perbukitan atau pegunungan.

Tidak mudah membangun infrastruktur telekomunikasi di pedesaan, apalagi untuk pedesaan di Indonesia yang memiliki karakteristik khas. Ada pandangan bahwa intensitas ekonomi pedesaan saat ini terlalu rendah untuk justifikasi investasi information and technology communication (ICT).[2] Di sisi yang lain pengembangan akses telekomunikasi dan informatika di pedesaan juga membutuhkan treatment tersendiri, serta memperhitungkan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Armein ZR Langi mengebut ada sejumlah persayaratan yang harus dipenuhi agar telekomunikasi pedesaan bisa berhasil, yakni infrastruktur harus murah, layanan harus mendukung kebutuhan sosial, ekonomi dan pemerintahan di pedesaan, model bisnis harus menarik bagi investasi, layanan pelanggan yang memudahkan perolehan pelanggan dan pembayaran, serta pemasangan peralatan yang dapat dilakukan tenaga setingkat teknisi lulusan STM/SMK.[3]


 

[1] Siaran Pers Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 21 Oktober 2007

[2] Media Indonesia, 26 Februari 2005

[3] Armein ZR Langi, Franchising Operasi Telekomunikasi: Strategi Baru untuk USO Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, Institut Teknologi Bandung, 3-4 Mei, 2006.

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »

Seluler Masuk Desa (1)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Kendala Pengembangan Telepon  Pedesaan

Teknologi dan informasi adalah salah satu pilar utama pembangunan peradaban manusia saat ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Kesenjangan digital akan segera berakhir. Inilah salah satu kesimpulan yang dilontarkan Jeffrey D Sachs, seorang guru besar ekonomi Universitas Colombia, Amerika Serikat. Pada satu kolom di Gulf Times edisi 21 Agustus 2008, Jeffrey D Sachs mencatat suatu perubahan yang mendasar di desa-desa di negara bagian Andara Pradest dan Gujarat, India, menyusul kehadiran telepon nirkabel di dua negara bagian tersebut. Kehadiran telepon seluler di desa-desa, tulis Jeffrey D Sachs, telah mendorong terjadinya suatu perubahan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Layanan telepon seluler disebutnya telah memberi kontribusi bagi peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat setempat. Fenomena ini, antara lain, tercermin dari makin meluasnya kemampuan jelajah mobil ambulans dalam melayani masyarakat. Layanan telepon nirkabel juga telah mengantarkan masyarakat ke sistem perbankan formal–sesuatu yang sebelumnya belum dikenal masyarakat pedesaan setempat. Layanan yang sama juga melahirkan revolusi di bidang logistik pertanian ke sistem pemasaran eceran yang lebih baik, sehingga memungkinkan petani mendapatkan harga jual yang lebih baik. Termasuk didalamnya pemberdayaan petani dalam melakukan diversifikasi produk maupun pembaharuan dalam sistem tanam. Memperhatikan berbagai dampak positif kehadiran layanan telekomunikasi di pedesaan, Sachs menyatakan bahwa The Digital divide is begining to closed.[1] Berakhirnya kesenjangan digital merupakan dampak langsung dari meningkatnya informasi digital melalui ponsel, pesan singkat dan internet. Informasi digital secara masif telah menjangkau seluruh belahan dunia–termasuk negara-negara miskin di dunia, dan mendorong lahirnya suatu revolusimbahsi di berbagai bidang, baik  ekonomi, politik maupun sosial. Telepon nirkabel dan internet nirkabel, kata Jeffrey D Sach, telah membebaskan desa dari isolasi dan selanjutnya menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan perubahan di desa bersangkutan.

Apa yang ditulis Jeffrey D Sach, dalam batas-batas tertentu juga terjadi di Indonesia, utamanya pada desa-desa terpencil yang telah terjangkau layanan telekomunikasi. Suatu studi yang dilakukan t-Project dan PUSTRAL UGM terhadap desa-desa di ASEAN yang memiliki akses telekomunikasi melalui program Univ ersal Services Obligation (USO), mencatat sejumlah dampak positif. Sekalipun studi ini tidak memberikan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif mengenai dampak kehadiran akses telekomunikasi di pedesaan, namun dengan mengamati berbagai kecenderungan yang ada, studi ini menemukan sejumlah indikasi yang menggambarkan dampak positif kehadiran fasilitas telekomunikasi di pedesaan. Indikasi dimaksud kemudian dikelompokan pada lima kategori, yakni[2]:

· USO memberikan manfaat ekonomi seperti peningkatan produktivitas dibidang agrikultural, nonagrikultural, serta distribusi pendapatan. Sekalipun untuk kategori ini tidak terdapat data yang bersifat kuantitatif, berbagai indikasi yang ditemukan dalam studi ini menggambarkan adanya kecenderungan terjadi peningkatan produktifitas dan distribusi pendapatan di pedesaan di Indonesia, pasca tersedianya fasilitas telekomunikasi di desa bersangkutan.

· USO memberi kontribusi bagi terjadinya perubahan pada kehidupan sosial, utamanya dalam komunikasi. USO mengakselerasi layanan-layanan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, termasuk kehidupan beragama. Untuk layanan kesehatan, telepon antara lain dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi seputar jam praktik dokter, ada tidaknya dokter yang bertugas, termasuk layanan gawat darurat.

· Ketersediaan akses telekomunikasi telah menghapus jarak dalam konteks etnis, budaya lokal, agama dan ideologi, melalui komunikasi dan kerja sama diantara warga masyarakat dalam satu komunitas.

· Telekomunikasi telah mempromosikan kesetaraan dan mengurangi diskriminasi seksual, kelas dan area dalam satu komunitas.

· Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kegiatan pemerintahan, komunitas dan lembaga-lembaga lokal. Di Indonesia fenomena ini, antara lain tercermin dari peran fasilitas telekomunikasi dalam memberi dukungan penting dalam akselerasi dan koordinasi tahap-tahap penyelenggaraan pemilihan umum 2004.

Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa telekomunikasi memberi banyak benefit dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Memperhatikan dampak positif kehadiran telekomunikasi di pedesaan, sudah selayaknya apabila seluruh desa di Indonesia memiliki akses telekomunikasi. Lebih dari sekadar memberikan benefit kepada masyarakat pedesaan, ketersediaan akses telekomunikasi di pedesaan juga akan memberikan dampak positif bagi pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Pertimbang012annya, komunikasi yang efektif, bisa menjadi katalisator bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu negara.[3] Selain memberikan dampak positif bagi desa bersangkutan, kehadiran akses telekomunikasi di pedesaan pada gilirannya juga akan mendukung penetrasi telekomunikasi secara nasional. Peningkatan penetrasi telekomunikasi secara umum akan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Internasional Telecommunication Union (ITU) setiap peningkatan penterasi telekomunikasi (fixed line, red) satu persen akan memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi hingga tiga persen. Kontribusi positif juga disumbangkan oleh peningkatan penetrasi layanan seluler. Studi yang dilakukan oleh London School of Bussiness, bahwa di negara-negara berkembang setiap peningkatan teledensitas 10 persen layanan seluler, memberikan kontribusi sebanyak enam persen bagi produk domestik bruto (GDP). Dengan kata lain, peningkatan penetrasi telekomunikasi–baik fixed line maupun nirkabel–, secara tidak langsung memberi kontribusi pada pendapatan domestik bruto dan pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, bukan perkara mudah menyediakan akses telekomunikasi di pedesaan. Mengingat jumlah desa di Indonesia yang belum memiliki akses telekomunikasi diperkirakan lebih dari 30 ribu. Dari sisi geografis, desa-desa yang belum memiliki akses telekomunikasi tersebar di wilayah Indonesia yang panjangnya 1/8 bentangan dunia, dengan kondisi fisik dan geografis yang beragam. Desa-desa dimaksud ada di wilayah perkotaan, pinggiran kota, kawasan pegunungan dan perbukitan, kawasan perairan atau berada di sebuah pulau yang berada di tengah samudera. Sebagian besar desa di Indonesia bahkan masuk kategori tertinggal, serta tidak memiliki infrastruktur pelayanan dasar yang memadai. Infrastruktur pelayanan dasar seperti listrik dan jalan, menjadi salah satu penting dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi saat ini. Berbagai kendala yang ada di pedesaan tak urung juga menjadi barrier bagi pengembangan infrastruktur dan layanan telekomunikasi. Siaran Pers Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 21 Oktober 2007 menulis bahwa investasi yang tinggi untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di pedesaan, serta lamanya pay back period atas investasi, menyebabkan banyak operator telekomunikasi yang enggan mengembangkan layanan hingga ke desa-desa.

Besarnya investasi, antara lain dipengaruhi oleh tingginya biaya operasi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur, biaya untuk mengoperasikan infrastruktur yang telah dibangun serta biaya pemeliharan. Dalam batas-batas tertentu, sekalipun menggunakan teknologi yang sama, biaya yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur di pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur di perkotaan. Karena itulah, berbagai keterbatasan yang ada di kawasan pedesaan menuntut tersedianya teknologi yang sesuai. Sayangnya, belum banyak teknologi yang secara spesifik dirancang atau dikembapanengkan untuk kawasan pedesaan, utamanya untuk kawasan pedesaan di Indonesia.

Persoalan yang sama juga dihadapi negara-negara yang memiliki wilayah luas dan sebagian besar masyarakatnya tinggal di pedesaan. Persoalan menjadi tambah berat tatkala muncul anggapan bahwa masyarakat pedesaan belum membutuhkan layanan telekomunikasi atau layanan telekomunikasi belum menjadi kebutuhan utama masyarakat pedesaan. Andaikata layanan telekomunikasi tersedia, layanan dimaksud tidak akan dimanfaatkan secara optimal. Pandangan lain menyatakan bahwa masyarakat pedesaan umumnya memiliki tingkat pendapatan yang relative rendah, sehingga tingkat konsumsi untuk layanan telekomunikasi juga akan rendah. Asumsi bahwa bakal ada ketidakseimbangan antara investasi dengan pendapatan—sehingga pay back period butuh waktu yang lama–, seolah menjadi semacam ‘pembenaran’ bagi operator untuk tidak mengembangkan layanan hingga desa-desa di pelosok.

Suatu studi yang dilakukan Nokia Siemens Network (2007) mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran telekomunikasi di daerah pedesaan emerging market berkisar antara 2 sampai 3 dolar per bulan. Emerging market merupakan terminology GSM Association untuk negara dengan teledentitas telekomunikasi kurang dari 60 persen atau memiliki pendapatan domestik bruto dibawah ambang batas minimal yang ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa. Biaya telekomunikasi masyarakat pedesaan di emerging market jauh dibawah pengeluaran rata-rata pelanggan layanan prabayar di perkotaan emerging market yang berkisar antara 7 dolar AS sampai dengan 10 dolar AS per bulan. Studi yang dilakukan Pyramid Research (2006), mengungkapkan bahwa biaya maintenance dan service untuk emerging market menyerap sekitar 30 persen dari seluruh biaya operasi (operating expenditure). Biaya ini setara dengan 80 persen total biaya jaringan. Oleh karena itu menjadi tantangan operator, bagaimana mengembangkan satu desain agar mampu menjangkau layanan dengan total cost ownership 3 dolar AS per bulan. Pyramid Research merekomendasikan tiga pendekatan yang bisa dilakukan yakni mengembangkan inovasi teknologi yang mampu mendeliver layanan berbiaya murah, mengembangkan model bisnis yang sesuai, serta melakukan pengembangan sistem jaringan baru yang memungkinkan solusi low cost menjadi feasible.

Rekomendasi Pyramid Research tampaknya menginisiasi kalangan vendor teknologi untuk dikembangkan di kawasan pedesaan dan remote area. Nokia Siemens Network, misalnya mengembangkan solusi komunikasi bertajuk Village Communication. Secara konseptual desain teknologi komunikasi pedesaan yang dikembangkan adalah resizing atau downsizing dari teknologi komunikasi pedesaan. Melalui solusi ini dikembangkan suatu sistem kemitraan antara operator telekomunikasi dengan pelaku usaha lokal di pedesaan. Sepintas, konsep ini memiliki kemiripan dengan model GrameenPhone yang dikembangkan di Bangladesh, India dan sejumlah Negara Afrika. Baik GrameenPhone maupun Village Communication mengedepankan konsep waralaba, suatu strategi mengurangi biaya operasi dan pemeliharaan, sekaligus memperluas layanan telekomunikasi. Sejauh ini, baik GrameenPhone maupun Nokia Siemens Network masih menggunakan teknologi standar yang diterapkan pada industri telekomunikasi secara umum. Nokia Siemens Network, misalnya, menawarkan satu infrastruktur telekomunikasi dengan kapasitas hingga 200 panggilan.

Dengan memperhatikan kondisi geografis yang khas, persoalan yang dihadapi di Indonesia solusi teknologi Village Communication maupun GrameenPhone belum mampu menjawab kebutuhan maupun tantangan yang dihadapi pedesaan di Indonesia. Karena solusi ini membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur tadi kemudian diperluas coveragenya. Di daerah pelayanan baru—hasil perluasan coverage, selanjutnya dikelola oleh mitra operator dengan system bagi hasil atau waralaba. Untuk daerah pedesaan di pinggiran kota, model seperti ini bisa diterapkan atau dikembangkan. Persoalan muncul tatkala lokasi desa jauh di pelosok. Apalagi jika kontur tidak mendukung perluasan coverage sebagaimana terjadi di desa Sentosa, Malabar, Jawa Barat. Sekalipun di sekitar desa Sentosa terdapat akses telekomunikasi, namun dari kendala kontur sinyal tidak bisa menjangkau desa Sentosa.


[1] Jeffrey D Sacht, Internet and Mobile Phone Spur Economic Development, Gulf Times, 21 Agustus 2008

[2] Technology Assesment for Universal Service Obligation for ASEAN Member Countries, tProject-PUSTRAL UGM, Yogyakarta, 2007

[3] The New Handset Paradigm for The Next Billion, GSMA, 2006

Posted in Tak Berkategori | Leave a Comment »