desa pinter

menambah pinter desa pinter

  • Kategori

  • Arsip

Telepon Masuk Desa (5)

Posted by taufikrachman09 pada 11 Oktober 2009

Menuju Desa Berdering

The digital divide is beginning to close, Jeffrey D Sachs, Director The Earth Institute, Colombia University

km5 

 

Penyediaan akses telekomunikasi di pedesaan, telah menjadi perhatian pemerintah. Selain mendorong operator telekomunikasi menyediakan akses telekomunikasi hingga ke desa-desa, pemerintah juga mengembangkan program penyediaan akses telekomunikasi di pedesaan yang kemudian dikenal dengan nama Universal Service Obligation (USO) atau pelayanan universal telekomunikasi. Pelayanan universal telekomunikasi, berdasarkan Undang Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, difokuskan pada desa yang masuk kategori daerah terpencil, daerah belum berkembang, daerah perintisan, pedalaman, pinggiran atau daerah yang secara ekonomis kurang berkembang. Pada pasal 16 ayat 1 Undang Undang No 36 Tahun 1999 disebutkan bahwa Kewajiban Pelayanan Universal (USO) merupakan kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal tetap. Dalam hal ini penyelenggara jasa telekomunikasi lokal tetap wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal berupa penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi atau kompensasi yang lain. Pada bagian penjelasan pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa kewajiban pelayanan universal (USO) merupakan kewajiban penyedia jaringan telekomunikasi tetap agar kebutuhan masyarakat, terutama di daerah terpencil dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon dapat terpenuhi. Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi tetap yang mendapatkan izin dari pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh dan atau jasa sambungan lokal. Namun demikian undang undang tidak tegas menyebutkan sampai sejauhmana kontribusi dimaksud. Misalnya, dalam satu tahun operator wajib membangun sekian titik di wilayah pelayanan universal, dengan kapasitas sekian.

Rumusan mengenai Pelayanan Universal selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. PP ini menyatakan bahwa untuk pelaksanaan kewajiban pelayanan universal, Menteri menetapkan:

  1. Wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal.
  2. Jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal.
  3. Jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal.
  4. Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan telekomunikasi di wilayah pelayanan universal.

Pemerintah menyadari bahwa membebankan ketersediaan akses telekomunikasi pedesaan sepenuhnya kepada operator penyelenggara telekomunikasi tidak mungkin dilakukan. Andaikata mungkin, membutuhkan waktu yang lama, mengingat besarnya investasi untuk program ini, juga masih banyaknya desa atau ibukota kecamatan yang belum terjangkau akses telekomunikasi. Oleh karena itu, pada tahun 2003 pemerintah merintis pembangunan akses telekomunikasi dan informatika pedesaan melalui program USO dengan pembiayaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2003 pemerintah membangun akses telekomunikasi di 3.013 desa yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. Untuk program ini dialokasikan dana Rp 45 miliar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2004, pemerintah mengalokasikan dana Rp 43,5 miliar untuk penyediaan akses telekomunikasi sebanyak 2.635 satuan sambungan telepon (SST) di 2.341 desa. Pada tahun 2005 pemerintah menghentikan program USO karena keterbatasan pagu anggaran yang ada. Saat itu alokasi dana untuk program USO hanya Rp 5 miliar. Dana yang tersedia selanjutnya dimanfaatkan untuk biaya operasional dan perawatan perangkat USO yang dibangun tahun 2003 dan 2004.

Untuk pelaksanaan program USO Tahun 2003 dan 2004, pemerintah menggandeng Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM-UGM). Dalam hal ini, LPPM-UGM melakukan survei dan menetapkan desa yang akan menjadi sasaran USO serta memberikan rekomendasi mengenai teknologi yang akan digunakan. LPPM-UGM merekomendasikan tiga teknologi untuk program USO yakni Portable Fixed Satellite (PFS), Radio Point to Point, serta Very Small Aperture Terminal (VSAT). Terdapat empat pelaksana program ini, yakni Pasifik Satelit Nusantara dengan Portable Fixed Satelite (PFS) dan IP Base, Citra Sari Makmur dengan Very Small Aperture Terminal (VSAT), Telkom dengan radio point to point serta Mandara Seluler dengan Code Division Multiple Acces (CDMA). Pasifik Satelit Nusantara membangun 4.601 titik/desa, Citra Sari Makmur 15 titik/desa, Telkom 397 titik/desa dan Mandara Seluler 314 titik/desa. Dalam pelaksanaan di lapangan, terjadi penyesuaian baik menyangkut jumlah desa maupun teknologi yang digunakan pada program USO. Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)[1] terhadap program USO Tahun 2003 dan 2004 mencatat implementasi dua teknologi baru, yakni IP Base dan Code Division Multiple Acces (CDMA). Jumlah desa yang mendapatkan akses telekomunikasi bertambah 614 desa, dari rencana 2.309 desa menjadi 2.341 desa. Pergantian teknologi terjadi pada 291 desa dengan implementasi teknologi baru berupa Internet Protocol Base (IP Base) pada 9 desa dan CDMA pada 314 desa. Audit BPK juga mencatat beberapa hal berkenaan dengan implementasi USO Tahun 2003 dan 2004, antara lain pembangunan untuk 280 unit/desa dengan teknologi PFS dan 11 desa dengan teknologi radio point to point tidak dapat dinikmati atau digunakan oleh masyarakat pedesaan setempat, karena beberapa faktor antara lain:

· Tingkat kemampuan membayar yang sangat rendah.

· Tidak teranggarkan biaya subsidi untuk operasional dan pemeliharaan untuk perangkat PFS.

· Vocer isi ulang perangkat PFS sulit diperoleh atau didapatkan.

 km4Audit BPK juga mencatat tingginya a tarif komunikasi di desa USO yang menggunakan teknologi Portable Fixed Satelite. Biaya percakapan Rp 1.656,- untuk percakapan antar perangkat PFS, jauh diatas percakapan dengan menggunakan teknologi non PFS yang tarifnya berkisar Rp 195,- Untuk percakapan ke nomor PSTN rata-rata tarif percakapan per menit adalah Rp 2.457,- sementara teknologi lain Rp 1.300,- per menit. Selanjutnya untuk bisa memanfaatkan teknologi PFS masyarakat terlebih dahulu membeli vocer perdana dan isi ulang senilai Rp 750 ribu. Selain mahal, vocer isi ulang PFS tidak mudah didapatkan, sehingga banyak fasilitas berteknologi PFS tidak difungsikan lagi setelah vocer senilai Rp 750 ribu habis digunakan. Ihwal tarif satelit yang mahal, Direktur Operasional Pasifik Satelit Nusantara, Rian Alisjahbana mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh tingginya biaya interkoneksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Bilamana biaya interkoneksi bias diturunkan, tarif komunikasi menggunakan teknologi satelit bisa diturunkan.[2] Di sisi lain, PT Telkom memberlakukan minimum charge Rp 1.750.000, per bulan, serta memberlakukan tarif mahal untuk sambungan langsung jarak jauh (SLJJ)[3]. Dengan adanya kebijakan ini, tarif komunikasi dengan menggunakan Very Small Aperture Terminal (VSAT) juga mahal dibandingkan dengan tarif percakapan dengan teknologi lain. Kendala serupa juga dialami pada layanan berbasis pascabayar. Sebagaimana terjadi di Miangas, karena belum ada kantor pelayanan PT Telkom di pulau ini, pembayaran tagihan telepon dititipkan kepada awak kapal yang singgah di Pulau Miangas. Kapal yang singgah di Miangas tidak menentu dan terkadang melebihi tanggal jatuh tempo pembayaran (tanggal 20). Akibat dari keterlambatan pembayaran adalah pelanggan dikenai denda termasuk pemblokiran/pemutusan sementara.[4]

Mahalnya tarif dan kesulitan pengguna mendapatkan vocer isi ulang, pada gilirannya mempengaruhi keberlanjutan program ini di desa sasaran. Suatu studi yang dilakukan Bappenas[5] mengungkapkan bahwa pemanfaatan fasilitas USO sangat rendah, baik untuk memanggil (outgoing) maupun dipanggil (incoming). Fenomena ini tercermin dari kecenderungan penurunan jumlah desa aktif atau desa dengan aktivitas trafik komunikasi diatas 0 menit dan peningkatan jumlah desa tidak aktif atau desa dengan trafik 0 menit atau tidak ada aktivitas komunikasi pada bulan-bulan pertama pengoperasian fasilitas USO. Pada kondisi stabil prosentase desa aktif mencapai 60 persen dari keseluruhan jumlah fasilitas telekomunikasi, dan 40 persen desa dengan kondisi fasilitas yang tidak aktif atau tidak ada aktivitas telekomunikasi yang menggunakan fasilitas USO. Di Banten, dari 54 desa yang mendapatkan fasilitas USO, hanya 11 desa yang masih bisa menerima panggilan. Relevan dengan temuan ini adalah hasil pemeriksaan BPKP yang menemukan banyak perangkat PFS yang tidak bisa difungsikan. Evaluasi yang dilakuan Pasifik Satelit Nusantara terhadap penggunaan fasilitas infrastruktur telekomunikasi USO terungkap bahwa, fasilitas yang tersedia rata-rata hanya dimanfaatkan secara optimal selama enam bulan. Pada bulan pertama, trafik komunikasi tinggi dan terus mengalami penurunan hingga bulan ke enam. Salah satu penyebab terjadinya kasus itu adalah tidak tersedia dana untuk membeli vocer isi ulang.[6]

km6Tarif yang tinggoi atau kesulitan membayar tagihan dan melakukan isi ulang vocer, hanyalah satu dari sejumlah persoalan yang mengemuka dalam implementasi program USO. Terdapat banyak masalah lain, berkait dengan implementasi program ini, seperti misalnya kontinuitas program tersebut baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif. Dari sisi kuantitatif atau jumlah desa yang mendapatkan fasilitas telekomunikasi masih sangat sedikit, dibandingkan dengan desa yang belum mendapatkan. Ini berarti diperlukan satu akselerasi, agar seluruh desa bisa menikmati fasilitas telekomunikasi. Guna mengakselerasi program ini, tentu saja diperlukan dana yang sangat besar, untuk biaya pembangunan infrastruktur. Selain biaya pembangunan, diperlukan pula biaya pemeliharaan perangkat dan infrastruktur yang telah dibangun. Melalui Pengumuman Menteri Perhubungan No 2 Tahun 2004, tentang Restrukturisasi Sektor Telekomunikasi, pemerintah memberlakukan kebijakan baru mengenai USO. Terbit Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 43 Tahun 2004 tentang Kewajiban Pelayanan Universal, yang intinya mengatur mengenai[7]:

    1. Pembangunan Kewajiban Pelayanan Universal (KPU) yang merupakan hak masyarakat terutama di daerah perintisan (daerah KPU/USO) yang tidak disentuh oleh penyelenggara telekomunikasi karena pertimbangan komersial.
    2. Dana pembangunan KPU bersumber dari kontribusi penyelenggara sebesar 0,75% dari pendapatan kotor dengan memperhatikan bad debt dan beban interkoneksi.
    3. Pemerintah akan menetapkan penyelenggara jaringan telekomunikasi atau penyelenggara jasa telekomunikasi untuk pelaksanaan USO.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 43 Tahun 2004 menjadi embrio implementasi konsep USO dengan sumber pendanaan berasal dari kontribusi penyelenggara telekomunikasi.

Melalui restrukturisasi telekomunikasi, pemerintah juga memberlakukan terminasi dini hak ekslusifitas, serta pengakhiran monopoli pada penyelenggaraan telekomunuikasi. Pada kebijakan ini, monopoli PT Telkom atas jaringan telekomunikasi lokal dan sambungan langsung jarak jauh dihapus, sementara monopoli PT Indosat atas layanan sambungan langsung internasional juga dihapuskan. Melalui kebijakan ini, baik Indosat maupun Telkom memiliki lisensi jaringan tetap lokal, sambungan langsung jarak jauh dan sambungan langsung internasional. Melalui mekanisme duopoli ini, pemerintah mewajibkan PT Indosat membangun 1,4 juta satuan sambungan telepon , sedangkan PT Telkom sebanyak dua juta satuan sambungan telepon. Selanjutnya penyelenggara jaringan tetap diwajibkan membangun jaringan sekurang-kurangnya 10,7 juta satuan sambungan telepon pada tahun 2008. Untuk pembangunan jaringan telepon tetap dimaksud, pemerintah menyatakan bahwa fixed wireless acces (FWA) masuk kategori jaringan tetap lokal, dengan demikian untuk memenuhi kewajiban membangun jaringan, penyelenggara telekomunikasi tetap lokal dapat menggunakan FWA. Namun demikian kebijakan duopoli telekomunikasi dinilai belum mampu meningkatkan teledensitas secara maksimal, karena hanya mampu meningkatkan teledensitas sekitar satu persen[8].

Pada periode 1999-2004, USO tidak berjalan optimal, karena faktor besarnya investasi untuk pembangunan fasilitas telekomunikasi di pedesaan yang menjadi target atau sasaran program USO. Pemerintah sendiri tidak memiliki anggaran yang memadai untuk melakukan akselerasi penyediaan fasilitas telekomunikasi di pedesaan. Sebagaimana disinggung di muka, pada periode 2003-2004, pemerintah baru sanggup menyediakan fasilitas telekomunikasi pada sekitar 6.000 desa atau sekitar 15 persen dari kebutuhan. Di sisi yang lain, penyelenggara jaringan telepon lokal yang memiliki kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi di daerah pelayanan universal juga belum memenuhi kewajibannya, karena pertimbangan investasi yang besar.


[1] Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Hasil Pemeriksaan atas Pelaksanaan Anggaran Rutin Suplemen Tahun 2003 dan 2004 pada Ditjen Postel Departemen Perhubungan, Jakarta 2004.

[2] Wawancara dengan Rian Alisyahbana

[3] Tanggapan PT Citra Sari Makmur pada Dialog Publik Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang USO, Jakarta, 2006.

[4] Siaran Per Ditjen Postel, 17 Oktober 2005

[5] USO dan PSO, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2005

[6] Wawancara Rian Alisyahbana, ibid

[7] Pengumuman Menteri Perhubungan No 2 Tahun 2004

[8] Telenditas telekomunikasi (gabungan antara fixed line dan seluler) pasca pemberlakuan duopoli telekomunikasi diperkirakan mencapai enam persen. Teledensitas sebelum pemberlakukan kebijakan duopoli sekitar lima persen.

Tinggalkan komentar